Di dunia yang semakin terdigitalisasi saat ini, wajah dunia kerja dan bisnis berubah drastis akibat perkembangan teknologi. Salah satu fenomena yang paling cepat berkembang  ialah gig economy atau ekonomi berbasis freelance, yang memanfaatkan platform digital seperti Uber, Gojek, dan Grab, serta platform freelance seperti Upwork dan Fiverr. Fenomena ini menciptakan peluang kerja bagi banyak orang, namun selain kenyamanan dan fleksibilitas, terdapat juga tantangan yang  signifikan, terutama yang terkait dengan ketidakamanan kerja, kurangnya jaminan sosial, dan kesenjangan pendapatan antara pekerja dan perusahaan teknologi besar. Dalam fenomena ini melibatkan pemikiran dari filsafat yang dicetus oleh karl marx tentang basis ekonomi, seperti berikut pemikiran karl marx yang terjadi di era ekonomi digital modern
Filsafat Karl Marx: Eksploitasi dan Ketimpangan dalam Kapitalisme
 memberikan wawasan mendalam mengenai kesenjangan yang ada di dunia gig economy. Marx menekankan bahwa dalam sistem kapitalis, para pemilik alat produksi (kaum borjuis) terus mengeksploitasi tenaga kerja (proletariat) demi meraih keuntungan yang lebih besar.
 Dalam konteks gig economy, perusahaan teknologi besar seperti Uber, Grab, dll. tidak mempekerjakan karyawan secara langsung, melainkan mengandalkan sistem tenaga kerja lepas yang mana mereka dibayar berdasarkan proyek per proyek. Meskipun perusahaan memperoleh keuntungan besar dari transaksi yang dilakukan di platform mereka, para pekerja memperoleh penghasilan yang kecil dan seringkali tidak memiliki hak-hak dasar seperti asuransi kesehatan dan pensiun. Ini merupakan bentuk eksploitasi dalam kapitalisme, dimana perusahaan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari kerja keras pekerja tanpa memberikan kompensasi yang adil.
 Keterasingan Pekerja:
 Keterpisahan dari Hasil Kerja
 Teori Marx juga sangat relevan dengan fenomena gig economy. Pekerja di sektor ini seringkali merasa terasing dari hasil kerja mereka karena tidak mempunyai kendali atas harga atau kebijakan perusahaan yang mengatur pekerjaan mereka. Misalnya, pengemudi Uber dan Grab tidak mempunyai kendali atas tarif yang mereka terima dan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan perusahaan. Mereka bekerja untuk memenuhi kebutuhan, bukan untuk menemukan kepuasan atau imbalan dalam pekerjaan itu sendiri. Hal ini menimbulkan perasaan keterasingan, di mana pekerja merasa terputus dari pekerjaan mereka dan nilai yang diciptakan oleh kerja keras mereka.
 Perjuangan Kelas dan Kesadaran Kelas
 Dari sudut pandang Marx, meningkatnya kesenjangan antara perusahaan besar dan pekerja pertunjukan telah menyebabkan kesenjangan yang semakin lebar antara kaum borjuis (pemilik platform) dan proletariat (pekerja lepas). Ketimpangan ini dapat memperburuk ketegangan sosial dan menyebabkan konflik kelas yang lebih kejam. Pekerja gig economy yang merasa tertindas dan tidak memiliki perlindungan yang memadai dapat menyadari ketidakadilan ini, meningkatkan kesadaran kelas, dan mulai berjuang untuk memperbaiki kondisi kerja mereka. Kesadaran kelas ini dapat mengarah pada perubahan sosial yang lebih besar, seperti seruan untuk menerapkan peraturan yang lebih ketat terhadap perusahaan teknologi dan peralihan ke sistem ekonomi yang lebih egaliter. Dengan kata lain, ketika ketimpangan meningkat, proses menuju perubahan struktural yang lebih luas dalam tatanan ekonomi bisa semakin cepat.
Kesimpulan: Mencari Keadilan Sosial di Era Digital
Fenomena gig economy yang berkembang pesat di era digital menunjukkan relevansi teori eksploitasi, alienasi, dan perjuangan kelas Karl Marx. Teknologi memudahkan banyak pekerjaan dan memberikan fleksibilitas bagi individu, namun kesenjangan ekonomi terus melebar. Pekerja di sektor ini dapat dilihat sebagai korban dari sistem kapitalisme yang memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan keuntungan perusahaan tanpa memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja.