Pada jumat lalu (6/10/2023), ia menyatakan bahwa upaya penggusuran paksa ini adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM. Rabianto menyatakan bahwa dalam persiapan pembangunan kantor gubernur provinsi papua pegunungan,hak ulayat adat walesi dan wouma telah di pertaruhkan dan upayah kekerasan telah di lakukan oleh segerombolan TNI dan  Polisi.
Upaya berlebihan untuk menurunkan TNI dan Polisi untuk menggusur perkebunan rakyat papua itu untuk di jadikan pembuatan jalan menjadi alasan intimidasi tersebut itu.Kami sudah memeriksa lapangan dan ternyata ada  pembukaan jalan yang menggusur kebun walesi dan woume tersebut. Masyarakat menentang pembangunan jalan ini,dan ini menunjukkan upaya yang berlebihan untuk menjatuhkan sekelompok TNI/Polisi.
Prabianto menyatakan bahwa pengerahan kekuatan yang berlebihan merupakan pelanggaran HAM jika mengacu pada prinsip-prinsip HAM. Prabianto menyatakan bahwa, berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai setandar internasional dan undang-undang, masyarakat adat harus di beri tahu tentang proses rencana pembangunan yang di butuhkan lahan masyarakat adat. Menurutnya hal itu tidak dapat dilakukan dan merupakan pelanggaran HAM yang serius. Ini dapat diakui dalam resolusi PBB dan merupakan pelanggaran HAM yang serius. Yang lebih mengawatirkan,ini akan menyebabkan konflik yang berlanjutan. Prabianto menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum hasus melalui mekanisme yang di atur dalam dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, yang mewajibkan tahap awal musyawarah mufakat, persetujuan warga setempat atau mengerembuk secara baik dan pembayaran ganti rug. Namun prabianto menyatakan bahwa pemerintah tidak mengikuti mekanisme dan aturan yang diatur dalam Undang-Undang.
Kami telah menerima konfirmasi dari kepala suku Wales dan Woumen. Mereka sama sekali tidak pernah di ajak dialog maupun musyawaroh. Nah, tetapi tahap awal sosialisasi dan musyawarah dengan wargasetempat yang terdampak tetapi kenyataan itu tidak di lakukan secara memadai. Artinya mereka hanya mengundang pihak-pihak tertentu dari kelompok Walesi maupun Wouma [yang mendukung pembangunan itu tersebut]. Tetapi mereka yang sepakat di dalam berita acara yang tanda tangan mereka itu tidak mewakili kesukuan warga Walesi maupun Wouma sehingga ini menjadi akar permasalahan. Tidak semua  suku adat Walesi mendukung pembiayaan tanah wilayah mereka. Dari 8 klan itu hanya 2 klan yang setuju. Mereka tidak pernah di ajak berbicara atau bermusyawarah. Namun, tahap sosialisasi awal dan konsultasi dengan penduduk yang terdampak belum dilakukan secara memadai. Artinya mereka hanya mengundang beberapa anggota kelompok Walesi dan Wouma. Tidak semua kelompok etnis wales mendukung perluasan tanah di wilayah mereka. Dari depan klan, haya dua yang setujuh; di Wouma, dari dua blas klan, hanya dua yang setuju. Dia bilang dia mungkin menolak.
Prabianto mengatakan Komnas HAM akan terus mengawali masalah ini. Komnas HAM juga akan menglaporkan ke kantor Staf Presiden dan Komisi II DPR RI Komisi II sehingga dapat menjadi perhatian mereka dan sesuai kewenangan mereka masing-masing yang menggambarkan kebijakan pejabat Gubernur Papua pegunungan."Mengapa mereka melakukan pembangunan dengan cara memaksa warga yang telah hidup turun-temurun di lokasi tersebut ? Pemerintah yang berusaha menyelesaikan konflik Papua tidak pernah selesai dengan pakai cara-cara seperti ini [terus digunakan]," ujarnya.(*)
Ada 30 anggota Asosiasi Wartawan Papua. Mereka berasal dari berbagai organisasi  dan lembaga, termasuk lembaga pemerintahan, lembaga pres, dan lembaga media di Jayapura dan wilayah sekitarnya.Beberapa organisasi pres dan media termasuk AJI Jayapura, Jubi, Papuans Photo, Polsek Heram, kontras Papua, Papua TV, KabarPapua, dan Papuan Voices. Selain itu ada juga Dinas komunikasi dan informasi Kota Jayapura dan Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Jayapura. Perwakilan dari Greenpeace dan PMK Katolik juga hadir.
Awal berdirinya Asosiasi Wartawan Papua (AWP) diceritakan oleh Elisa Sekenyap,Ketua AWP. Forum Jurnalis Asli Papua (FJAP) didirikan pada tahun 2017  dan berkembang menjadi Asosiasi Wartawan Papua pada 7 Januari  2023, dengan nomor resmi Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI: AHU-0000-115.AH.01.07. Menurut Sekenyap dalam Berbagainya," Awalnya  dari 5 orang,ada dari Kabupaten seperti Wamena dan Intan Jaya, sekarang ini beranggotakan sekitar 30 orang."
Langkah kedepan yang bisa kita lakukan adalah :
- Membentuk komunitas advokasi untuk memperjuangkan hak  tanah adat.
- Mendorong dialog antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat adat untuk mencari solusi.
- Menghubungi   organisasi internasional untuk mendapatkan perhatian global isu ini.
- Melibatkan pihak ketiga yang netral sebagai mediator untuk memastikan proses yang adil.
- Meningkatkan kapasitas masyarakat adat melalui pendidikan dan pelatihan mengenai hak-hak mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H