Mohon tunggu...
Nazri Zuliansyah
Nazri Zuliansyah Mohon Tunggu... -

Pemabuk karya sastra dan senigrafi. Penikmat setia pentas drama, teater, dan musikalisasi. Pecandu sunyi yang tak sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Lupakan Ahok, Mari Bertakbir untuk Umat

7 November 2016   00:52 Diperbarui: 7 November 2016   01:10 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak kasus yang bertajuk Ahok menistakan agama, beragam reaksi pun muncul. Semakin hari, kian menjadi. Api kompor yang mulanya menyala dari judul video milik Buny Yani, mendadak menjamur hingga berkembangbiak menjadi jamur-jamur beracun yang tidak layak konsumsi. Semua orang menontonnya, berulang-ulang, share habis-habisan, komentar ini itu, dan semakin parah. Kasihan sekali. Kemudian saya termasuk di antaranya.

Video yang tidak penting jumlah angka durasinya itu, saya menontonnya sampai detik akhir. Dan biasa saja setelah menyaksikannya. Tidak ada kesan apa-apa, selain merasa buang-buang waktu telah menyimaknya. Saya pikir, ini sampah! Sebab menyimak, dan mengikuti persoalan Pilkada adalah hal yang membosan bagi saya. Apalagi urusan Jakarta, semakin bodo rasanya! Secara kartu identitas nasional yang kecanggihannya rusak pun, saya tidak punya hak pilih untuk wilayah DKI Jakarta. Terus terang pula, saat itu saya lebih tertarik mengikuti kasus pembunuhan Mirna yang tak jauh membosankan.

Beberapa hari kemudian, BOOM! Kasus Ahok melebar! What the hell? Muncul di trending youtube, Ahok Menghina Islam! Ahok bla.. bla.. bla.. reaksi tokoh agama pun berkembang beragam. Api melebar ke mana-mana, seluruh Indonesia ikut terbakar. Kebencian meledak-ledak, secuil api telah berubah menjadi neraka dengan spontan. Padahal, MUI sudah mengirimkan surat peringatan keras kepada Ahok, dan doi pun meminta maaf. Rupanya perkara ini tidak ditakdirkan untuk kelar.

Kian hari semakin keruh, persoalan menjalar hingga ke ahli ilmu tafsir. Entah apa masalahnya? Saya belum mengerti, kenapa para ulama dipaksa berdebat untuk mentafsirkan sebongkah ayat? Ribut, adu argumen. Apakah itu lebih penting daripada memaksa umat untuk membenarkan bacaan surah AlFatihah? Ah, saya merintih dalam hati. Terasa semakin menjijikan tatkala menjadi topik di televisi dalam acara provokasi yang disingkat ILC. Sialnya, saya pun mengikutinya. MUI dihadirkan, tokoh lainnya pun dibawa-bawa, alhasil muncul beberapa nama baru yang ikutan jadi tren. Persoalannya semakin parah serta membingungkan, entah saya yang justru terlalu bodoh.  

Nah, selepas kemudian, saya mulai tertarik menyimak persoalan yang berkembang seperti virus ini. Saya putar kembali video pemicu sulut api orgaisme emosi umat itu. Hasilnya, saya merasa kinerja otak saya seakan sedang rusak. Aneh, kenapa harus marah? Toh, di video tersebut jelas-jelas maksud Ahok untuk lawan politiknya. Saya sadar, sangat sadar malah. Ada kata ‘Surah Almaidah 51’ disebut olehnya sekali. So, what the meaning of that? Bukanlah tentang makna ayatnya yang mesti dipermasalahkan. Sebab Ahok tidak membacakan ayat 51 surah Almaidah, apalagi mentafsirnya. Lagipula, sudah jelas lahir batin, islam melarang memilih pemimpin dari kaum yahudi dan nasrani.

Lalu, apa urusannya bagi saya, dan orang-orang di luar Jakarta lainya? Mungkin ada yang wilayah kampanyenya di DKI Jakarta berpikir, jurus ini bisa jadi andalannya. Memanfaatkan keimanan umat demi kelancaran politiknya. Tidak jauh beda dengan partai-partai politik yang mengklaim islam sebagai pondasinya, seolah-olah akan mencermin kharisma islam di ranah politik Indonesia. Seakan-akan misi politiknya untuk mengubah seluruh sistem pemerintahan negeri ini menjadi syariat islam. Padahal, kan, tidak! Ah, sepertinya semakin rumit.

Kembali ke persoalan Ahok, saya menilai kasus ini seperti dilebay-lebaykan ke permasalahan agama. Kontan, saya kecewa dengan sikap arogan beberapa kalangan umat. Sebelumnya, saya setuju dengan sejumlah aksi FPI memberantas maksiat, dan ikut semangat setiap massanya meneriakan takbir. Saya orang yang fanatik, bahkan sangat fanatik militansi dan jihad. Ada sisi dalam padangan saya untuk membenarkan aksi Bom Bali 2002 silam, dan meyakini para pelakunya yang dieksekusi adalah syahid. Saya pernah mengutuk Densus 88, dan percaya setiap aksi teror di negeri ini adalah rekayasa tokoh di balik kesatuan anti teror tersebut. Tapi.. dalam kasus Ahok, saya sepertinya harus kecewa kepada para ikhwan yang ikut terseret provokasi mempermasalahkannya hingga ke jalanan Jakarta.

4 November 2016 menjadi hari puncak keterpaksaan saya untuk kecewa. Aksi yang saya nilai memiliki aroma politik yang sangat kental, jauh lebih tercium dari aksi #TolakAhok sebelumnya. Saya tidak peduli, Ahok mau diludahi atau dikebiri di halaman Monas sekalipun. Pokok perkara saat ini sudah bukan lagi mengarah ke topik utama. Dari pagi hingga menjelang magrib, saya mengikuti siaran langsung Kompas TV. Tidak sebosan saat mengikuti sidang pembelaan Jessica, kali ini saya tidak melewatkan satu iklannya sekalipun. Bahkan Sabtu, Minggu, hingga hari ini, saya masih setia dengan beragam berita (tak hanya kompastv) tentang aksi massa hari Jumat tersebut.

Sedih, dan merasa terkhianati. Ada wartawan yang dipukuli, dan difitnah sebagai provokasi. Ada kericuhan sewaktu isya, gas airmata dilontarkan, 1 orang tewas sebab asma, dan 3 unit mobil petugas dibakar. Api yang mulanya hanyalah kiasan, ternyata menyala benaran di tengah-tengah massa. Sejujurnya, amarah saya pun sudah ikut terbakar! Bagaimana tidak? Efek dari perkara ini telah merambat ke mana-mana.

Muhammad Guntur, juru kamera Kompas TV yang dizalimi secara terang-terangan. Tidak memperbolehkannya meliput saja adalah sebuah pelanggaran. Bila dari hukum, persoalan ini tercantum di UUD Pers Tahun 1999. Nah, dari kacamata lain, Guntur sedang dalam tugasnya. Dia sedang bekerja, dan menjalankan tanggungjawabnya dalam mencari nafkah. Kenapa dipukuli? Dilempari saat sedang ambil gambar, dan memori cardnya direbut. Terserah itu mau disebut pelakunya oknum atau jadah sekalipun. Tapi siapa yang akan bertanggungjawab sekarang?

Perlakuan terhadap Guntur tersebut juga menjadi kunci emosi saya kian meledak. Mengapa bisa terjadi, di hadapan ribuan umat islam, ada seorang muslim yang dibiarkan dianiaya, dilecehkan, dan hartanya dicuri?

Saya harus bertakbir berapa kali lagi untuk meredamkan amarah ini?

Bogor, 06 November 2016

Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun