Kasus Rumah Kota Kembang-GDC:Rumah tak diserahterimakan, amanah tak tersampaikan
Apa bedanya antara pengembang perumahan dan konsumen?Yang satu penjual yang lain pembeli, itu cukup jelas – dengan segala hak dan kewajibannya.Perbedaan yang sering kita lewatkan adalah bahwa bagi pengembang rumah itu adalah asset yang diperjualbelikan atau asset bisnis.Buat konsumen, rumah adalah personal, merupakan kebutuhan dasar manusia pada sandang, pangan, papan.Buat kebanyakan orang rumah dan tanah adalah suatu impian yang mungkin terjangkau mungkin saja tidak. Buat sebagian lain membeli rumah merupakan puncak dari kerja kerasnya dan sarana menabung untuk suatu rencana masa depan seperti sekolah anak dan pensiun.
Lalu apakah yang menjembatani antara visi misi pengembang perumahan dan kebutuhan dan rencana konsumen?Tentu saja transaksiperjanjian menjadi sarananya.Yang sering kita lewatkan adalah dibalik dokumen perjanjian itu tersirat di dalamnya makna kepercayaan.Yaitu kepercayaan untuk saling bekerjasama, yang merupakan salah satu unsur modal sosial di masyarakat.Sesungguhnya kegiatan apapun antar unsur masyarakat sulit berjalan dengan langgeng tanpa didasarkan kepercayaan.
Ketika berbicara dengan perempuan berusia di atas 50-an itu, kudengar suaranya bergetar, matanya meredup, kurasakan luapan emosinya yang lembut namun menuntut pernyataan.Aku ingin memeluknya segera, dan berbisik membujuknya “ini takkan selamanya, ini akan berakhir”, namun tentu saja aku harus menahan diri dan mendengarkan ceritanya.
Jadi dia bercerita panjang lebar. Singkatnya, perempuan ini membeli sebidang kavling pada akhir 1990-an untuk persiapan pensiun, dari pengembang Kota Kembang yang sekarang bernama Grand Depok City.Namun sampai sekarang pihak pengembang belum menyerahkan tanah apalagi sertifikat tanah kepadanya. Sedangkan dari tahun ke tahun dia membayar Pajak Bumi Bangunan. Berbagai usaha pendekatan kepada perwakilan pengembang GDC menemui jalan buntuk karena hanya didengarkan tanpa diberikan jalan keluar.Perempuan ini sebut saja Ibu S, menceritakan temannya Ibu M juga membeli rumah, namun sekarang belum diserahterimakan secara fisik apalagi sertifikatnya.Hampir serupa dengan Ibu M, saya juga membeli rumah pada awal 2003, dengan niat untuk menyiapkan rencana kuliah anak dan pensiun.Sampai sekarang pengembang tidak menunaikan kewajibannya menyerahkan rumah dan sertifikatnya.Di antara 2003 sampai 2007 saya telah mengadakan pendekatan personal non-litigasi kepada pihak pengembang dan pihak Bank yang keduanya termasuk dalam grup besar ini.Pada saat yang sama saya menemukan sejumlah 200 konsumen melapor kepada YLKI yang mengadakan mediasi dengan pengembang.Namun tidak jelas hasil nyata dari sini, karena YLKI tidak menindaklanjuti urusan secara masing-masing konsumen.Karena tidak merasakan niat baik dari pihak bank maupun pengembang, pada tahun 2009 diwakili oleh seorang pengacara muda, saya menuntut ganti rugi ke pengadilan.Pada Juli 2011 Pengadilan Negeri mengeluarkan pernyataan wanprestasi yaitu kesalahan atas pengembang, namun tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi rugi.Pada saat ini saya mengajukan naik banding ke Pengadilan Tinggi, secara bersamaan merencanakan pendekatan non-litigasi dengan cara yang berbeda.
Beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang warga GDC yang bercerita panjang lebar tentang kasusnya dan sejumlah warga lainnya yang berdiam sejak tahun 2002 di GDC, namun tidak mendapatkan sertifikat.Bapak ini bercerita dengan lancar, tegas, rasional, hati-hati namun kurasakan kegetirannya, dan sesekali emosinya meletup terhadap pengembang itu.Dia dan sejumlah warga memenangkan gugatan atas hak sertifikasi di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, namun pihak pengembang sdikitpun tidak menggubris keputusan atas nama hukum ini.Daripada mengadakan pendekatan yang lebih manusiawi, pengembang bahkan mau mengajukan kasasi ke MA.Bapak dkk ini segera mengganti pengacaranya, dengan pengacara ormas tertentu.Ndilalah, umpama preman ketemu preman ternyata seperti gayung bersambut.Sertifikat pun dikeluarkan pada tahun ini kepada Bapak dan sejumlah warga lainnya.
Saya juga mendapat informasi lainnya bahwa pada waktu yang bersamaan ada beberapa grup warga lama GDC yang membentuk paguyuban tuntutan tergantung jenis kasusnya.Diinformasikan, dari ratusan kepala keluarga warga lama, setengahnya diperkirakan belum mendapatkan sertifikasi rumahnya, belum lagi konsumen yang tidak tinggal di sana.Sementara itu pengembang GDC terus menjual dan mempromosikan rumahnya.Ini menimbulkan suatu kasus yanglebih ruwet, ketika salah satu warga yang tinggal di sana didatangi konsumen yang mau menempati rumah yang sama!
Cerita bapak ini memberikan pelajaran kepada kami, tiga ibu-ibu yang selama ini berusaha sendiri-sendiri, untuk berkelompok bersama berencana untuk mendapatkan kembali hak kami yang diabaikan, amanah yang tak tersampaikan, dan kepercayaan yang dirusak.Pengembang perumahan yang tergabung dalam nama grup besar ternyata tidak menjamin bahwa tanggungjawab sosialnya (CSR) dijalankan.Bahkan daripada menyelesaikan persoalan yang belum selesai, pengembang sudah menjual rumah di lokasi yang sama.Daripada menyelesaikan persoalan secara penuh amanah dan tanggungjawab, pengembang berbelit-belit, mengabaikan semua pihak termasuk pengadilan, dan tidak menunjukkan itikad baiknya sama sekali.
Kami tiga ibu-ibu ini, mohon dukungan para pihak terkait, pemetaan konsumen yang menjadi korban, informasi-informasi yang berhubungan dan berguna, untuk merealisasikan rencana kami dalammenegakkan kembali hak konsumen rumah yang dilanggar,dalam kerangka besar menumbuhkan kepercayaan di masyarakat luas.
Menjelang puasa Ramadan ini, kami ucapkan selamat bersiap-siap. Saya berdoa bahwa usaha kami ini terus bergulir dan terbuka jalannya, bahwa berkah Ramadan memberikan energi khusus yang sangat kami butuhkan, dan membukakan hati para pihak untuk berjuang tanpa keraguan dan rasa takut. Amin.
Depok, Juni 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H