Jakarta, 19 Februari 2024Â
Setengah tahun terakhir, aku memiliki emosi yang tidak beraturan. Di beberapa pekan, aku bertemu banyak orang baru. Bersenang-senang bersama karena satu kesukaan yang sama. Menghamburkan rupiah yang cukup banyak. Hingga rasanya aku menggantungkan kebahagiaan pada orang lain dan rasanya addictive, ingin selalu bertemu orang untuk mencari kebahagiaan.Â
Tak lama, rasanya hampa, dan kebahagiaan itu memudar bahkan tak lagi sama. Ada apa denganku?Â
Tiba-tiba rutinitas dan hari-hariku sangat damai. Tidak ada pekerjaan yang menumpuk. Aku bisa datang ke kantor lebih siang dan pulang lebih awal. Setelah selesai bekerja, aku bahkan menyempatkan olahraga, meski sekedar lari 5 km. Tak lama, aku menjalani diet hingga berhasil menurunkan berat badan cukup banyak. Aku mulai menyukai olahraga lari dalam setengah tahun terakhir. Sangat rutin, dalam sepekan aku melakukannya 3 - 4 kali. Sungguh diluar kebiasaanku dan rasanya menyenangkan.Â
Lalu, olahraga ini kembali tidak menyenangkan. Rasanya aku tidak mendapat motivasi lagi. Padahal aku masih ingin menurunkan berat badan. Aku mulai bosan dengan track lariku, lalu aku mengubahnya dan mendapatkan track baru yang menyegarkan, capaian kilometer yang bisa terus bertambah, tapi rasanya semua tak lagi sama. Aku mulai berhenti dan tak ingin berlari, sudah 1 bulan.Â
Sesekali aku bertemu teman kuliah. Lagi-aku ternyata menyenangkan. Dulu, dia bukan teman dekatku tapi sekarang dia salah satu teman berharga untukku. Kami berdua memiliki MBTI yang sama, ya E haha. Menyenangkan, memiliki teman berbagi keluh kesah dan tawa.Â
Di satu hari setelah bertemu dengannya, aku tiba-tiba jatuh sakit. Aneh sekali. Padahal di pagi hari aku masih sangat baik-baik saja. Tapi di sore hari, badanku menggigil hingga demam tinggi. Lambungku sangat sakit. Hingga di malan itu aku benar-benar tak bisa bangun dari tempat tidurku.Â
Di esoknya, aku pergi ke dokter. Aku menduga penyakitnya gejala tifus, karena gejala-gejala yang aku alami sangat mirip. Entah kenapa, aku berharap sakit, aku sangat ingin sakit dan malah bersyukur bisa mengalami sakit. Pikirku "akan bagus jika aku sakit dan mendapati perawatan di Rumah Sakit". Aku benar-benar memikirkan itu.Â
Tapi saat pergi ke dokter, ia pun terlihat khawatir dengan keadaanku sehingga aku menjalani beberapa test. Lalu hasilnya, aku baik-baik saja. Semua test hasilnya negatif, dan aku baik baik saja kata dokter. Aneh bukan?Â
Entah. Meski setelah dari dokter, aku masih merasakan sakit selama sepekan, tak berdaya. Obatku mulai habis. Aku mulai khawatir, karena pekan depannya aku harus pulang ke Bandung. Aku tidak mungkin pulang dengan keadaan tidak baik-baik saja. Tapi hari aku pulang pun tiba.
Di perjalanan pulang, aku masih merasakan asam lambungku naik. Keringat dingin dan mual pun masih kurasakan. Tapi aku memaksakan pulang karena ada acara penting, dan aku memiliki libur yang cukup panjang. Sangat disayangkan jika cutinya ku batalkan. Aku terus berkata pada tubuhku, aku baik-baik saja. Â
Setibanya di rumah, aku sangat merasakan aku baik-baik saja. Aku bisa tersenyum dengan nyaman. Memakan makanan dengan lahap. Padahal beberapa jam yang lalu, aku sangat mual untuk memasukan makanan ke dalam perutku. Bahkan sangat ingin aku muntahkan. Tapi setibanya di rumah, semua baik-baik saja. Homesick? Sepertinya.Â
Ceritanya tidak beraturankah? Maaf ya, aku mulai kehilangan caraku menulis. Aku hanya menumpahkan semua yang ada di kepalaku, karena sekarang sedang sangat berisik. Jadi cobalah untuk mengerti.Â
Lalu..Â
Masih saat di Bandung, selama 4 hari.Â
Selama libur, aku sangat bersyukur bisa beristirahat. Meski sebenarnya ada beberapa pekerjaan menumpuk karena aku sempat sakit, bahkan aku sempat membuka laptop untuk bekerja saat di rumah. Overthinking dia datang, dengan membawa beban dan pikiran yang cukup menyakitkan. Beberapa pekerjaan yang harus aku lakukan setelah selesai berlibur cukup mengganggu. Aku harus memimpin satu rapat di pekan depan. Sesekali aku memetakan apa yang harus aku presentasikan pekan depan. Pikiran itu cukup menganggu.Â
Hingga selama aku istirahat di rumah aku tidak tahu caranya beristirahat. Bingung apa yang harus ku lakukan. Biasanya aku menghubungi teman-temanku untuk bisa bertemu. Tapi nyatanya aku tidak mau bertemu orang, sangat tidak mau, karena membayangkannya akan sangat melelahkan. Padahal biasanya aku tidak pernah ada di rumah. Aku pasti menyempatkan bertemu temanku, tapi baru kali ini aku sangat tidak ingin.Â
Chat whatsapp ku terus berbunyi. Beberapa teman bahkan rekan kerja mengirimiku pesan. Tapi aku sangat tidak ingin membalas bahkan membacanya. Padahal aku tipe yang tidak tahan untuk tidak membalas. Akhirnya aku mematikan data, dan menghapus aplikasi instagram, tiktok, twitter, bahkan weverse.Â
Kegiatanku biasanya fangirling. Tapi sekarang hobi itu tidak menyenangkan. Aku tidak merasakan apa-apa lagi. Melihat para biasku yang terlihat biasa saja. Bosan. Teman teman fangirling ku mulai menghubungi untuk mengajak datang ke event. Aku tidak membalasnya. Mengacuhkannya. Maafkan aku. Aku sepertinya ingin istirahat.Â
Selama di rumah, aku banyak sekali tidur. Dalam 24 jam sepertinya aku tidur 18 jam. Di pagi hari aku aku bangun, 2 jam kemudian aku tertidur karena tidak tau apa yang harus kulakukan. Tak lama bangun di siang hari, lalu 2 jam kemudian aku tertidur lagi. Cukup frustasi karena bosan.Â
Tapi di malam hari, aku membuka laptop untuk bekerja. Menyelesaikan beberapa pekerjaan yang terus menumpuk.Â
Di malam terakhir aku di rumah, tepat tengah malam aku pergi ke toilet untuk buang air kecil. Tidak tau apa yang terjadi, tiba-tiba saja aku mulai menangis, di dalam toilet. Aku mulai menangis tersedu-sedu. Sambil berpikir "aku kenapa menangis, tidak tau tapi aku sangat ingin menangis". Terus menangis selama 5 menit. Setelah mulai mereda, aku sadar apa yang telah terjadi sangat tidak bisa aku kendalikan, entah kenapa. Di malam itu aku tertidur dengan perasaan yang sedih setelah menangis. Emosiku merasakan kesedihan yang teramat sangat hingga cukup sesak.Â
Hari terakhir di rumah, aku mulai kembali ke Jakarta. Hari itu hari pemilu 2024.Â
Setibanya di Jakarta, aku mulai merasakan kesendirian dan kesepian, sangat hampa menempati kamar kosanku. Bahkan selama perjalanan ke Jakarta, kepalaku sangat pusing tiba-tiba. Aku sangat ingin membeli kopi, tapi aku menahannya karena khawatir asam lambungku perih.Â
Aku pun meminum paracetamol untuk meredakan sakit kepalaku. Aku terus tertidur sepanjang perjalanan, tapi kepalaku masih sangat sakit, bahkan sesampainya di kosan. Kepalaku mulai pusing. Sakit yang kurasakan pekan lalu pun kembali datang. Asam lambung, mual, kembung. Ada apa? Jakarta kamu kenapa membuatku seperti ini. Aku ingin pulang lagi. Aku tidak ingin berada di kota asing ini.Â
Padahal di hari pemilu cuaca Jakarta sangat bagus, tidak terlalu panas bahkan langitnya sangat cantik.Â
Emosi-emosi yang aku rasakan membuatku keheranan dengan diriku, seperti seseorang yang tidak aku kenal. Aku tidak mengenal diriku dengan baik.Â
Di satu hari saat aku sedang menonton drama korea, saat sedang scene comedy aku malah menangis. Ya, aku kembali menangis tanpa sebab. Di situasi aneh yang seharusnya aku tertawa, aku malah menangis tersedu-sedu. Otaku mendapati lagi "kenapa aku menangis", tapi aku tetap menangis selama 5 menit lalu berhenti.Â
Emosi-emosi aneh lainnya datang. Saat sedang melakukan suatu kegiatan, pikiranku tiba tiba terbesit suatu kejadian. Apakah kalian punya mimpi yang sama saat sedang demam tinggi? Mimpi yang selalu sama itu tiba-tiba ada dipikiranku, saat aku sedang baik-baik saja. Perasaannya aneh, padahal biasanya aku tidak ingat mimpi itu. Aku hanya ingat mimpi itu saat sedang demam tinggi. Tapi kenapa dia datang secara tiba-tiba? Aneh sekali sampai membuatku sangat gelisah. Aku mulai menarik nafas dalam-dalam, menenangkan pikiran kacauku.Â
Tiba-tiba aku ingat setahun lalu aku sempat menghubungi psikolog di halodoc. Meski sebenernya di 2 tahun terakhir aku sudah menghubungi psikolog sebanyak 4 kali. Tapi di salah satu chat dokter yang pernah aku hubungi, aku baru membaca diagnosa yang dia berikan. Isi diagnosanya adalah generalized anxiety disorder.Â
Setelah membacanya, aku melamun tak percaya aku melewatkan hasil diagnosa itu. Dokter itu sempat menyarankaku untuk mendapat perawatan ke psikiater. Bagian itu aku ingat, karena aku sempat mengalami insomnisa, jadi dia menyuruhku mendapatkan obat. Tapi aku tidak melakukannya, aku menghiraukannya. Aku hanya mengonsumsi paracetamol untuk membantuku tidur. Bahkan insomnia sempat hilang karena aku mulai berolahraga. Aku merasakan aku tidak apa-apa.Â
Diagnosa itu cukup menggangguku. Apa yang harus kulakukan?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H