Sebagai seorang yang tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi, saya merasa sangat terhubung dengan media sosial yang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai jemabtan untuk mengenalkan dan melestarikan budaya lokal. Dalam pengalaman pribadi saya, media sosial telah memainkan peran penting dalam mengenalkan budaya daerah saya yaitu Kalimantan Selatan.
Salah satu pengalam yang paling berkesan adalah ketika saya mengikuti sebuah akun instagram yang secara rutin membagikan konten tentang tradisi dan kebudayaan suku Banjar. Melalui foto-foto dan video pendek, saya bisa melihat langsung keindahan upacara adat, makanan khas yang mungkin tidak pernah saya ketahui jika tidak ada sosial media. Setiap postingan membawa saya kembali ke memori kolektif masyarakat Banjar yang kaya akan nilai-nilai tradisional dan spiritualitas.
Media sosial memberikan platfrom bagi masyarakat lokal untuk berbagi cerita dan pengalaman mereka. Hal ini menciptakan ruang di mana generasi muda dapat belajar tentang asal budaya mereka sekaligus berinteraksi dengan orang-orang dari latar belakang berbeda. Misalnya, saat saya melihat video tentang Festival Wisata Budaya Pasar Terapung di Banjarmasin, saya merasa bangga akan warisan budaya itu dan terdorong untuk menghadiri festival tersebut secara langsung.
Namun dibalik manfaat tersebut, ada tantangan yang perlu kita hadapi. Dengan arus informasi yang begitu cepat dan tanpa filter, banyak budaya lokal yang terancam punah oleh pengaruh budaya asing. Dalam konteks ini, media sosial bisa menjadi menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi bisa memperkenalkan budaya lokal kepada masyarakat yang lebih luas, di sisi lain bisa mengikis nilai-nilai tradisional jika tidak dikelola dengan bijak. Karena saya sering melihat konten yang mengedepankan kehidupan bermewah-mewah atau istilahnya gaya hidup glamor yang tidak sesuai dengan nilai-nilai lokal. Ini menimbulkan tekanan bagi generasi muda untuk mengikuti tren global yang mungkin bertentangan dengan identitas mereka sendiri. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk tetap kritis dan selektif dalam mengonsumsi informasi dari media sosial.
Melihat dari fenomena ini, saya percaya bahwa peran media sosial dalam mengenalkan budaya lokal harus diarahkan pada penguatan identitas. Kita perlu menyiapkan konten yang tidak hanya menarik tetapi juga mendidik. Misalnya, melakukan contest video vlog di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung untuk mengajak partisipasi aktif dari generasi muda. Dengan mengajak mereka untuk berkontribusi dalam mendokumentasikan dan membagikan pengalaman budaya mereka sendiri, kita dapat memperkuat rasa memiliki terhadap warisan budaya.
Untuk kedepannya penting bagi kita untuk menjadikan media sosial sebagai alat untuk merayakan keberagaman budaya Indonesia. Dengan melakukan kolaborasi antara seniman lokal dan influencer di media sosial, kita bisa menciptakan gerakan yang tidak hanya mempromosikan budaya tetapi juga membangun kesadaran akan pentingnya melestarikannya.
Sebagai mahasiswa dan bagian dari generasi muda, saya merasa optimis bahwa media sosial dapat menjadi alat yang efektif dalam mengenalkan dan melestarikan budaya lokal. Namun, hal ini memerlukan kesadaran untuk menjaga nilai-nilai tradisional sambil tetap terbuka terhadap inovasi dan perubahan zaman. Dengan cara ini kita tidak hanya menjaga memori kolektif tetapi juga membangun masa depan yang lebih kaya akan keberagaman budaya Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H