Mohon tunggu...
Naziyah Mardiyani
Naziyah Mardiyani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Padjadjaran

Menulis adalah hobi saya sejak kecil. Saya senang menulis cerita fiksi, dan mulai terbiasa menggarap tulisan non fiksi sejak menjalani Praktek Kerja Lapangan ketika SMK.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Budaya Lestari, Keragaman Abadi: Menilik Kampung Adat Cikondang

12 Juli 2024   11:40 Diperbarui: 12 Juli 2024   12:00 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Data Pribadi 

Bumi adat Cikondang, salah satu warisan budaya yang masih terjaga hingga saat ini. Ia adalah rumah yang berusia kurang lebih 350 tahun tanpa rekonstruksi. Setiap elemen pembangunnya mengandung makna religius. Memiliki panjang 8 meter dengan lebar 12 meter, bangunan tanpa perubahan ini dipercaya menjadi dasar perhitungan untuk menentukan tanggal-tanggal penting dalam Islam. Satu Ramadhan misalnya. Untuk menghitungnya, ada rumus khusus yang tidak sembarangan dibagikan pada orang lain, rumus itu digunakan untuk membantu perhitungan tanggal Hijriah. Selain luas bangunan, adapun jendela yang berjumlah 5 di setiap sisi bangunan, melambangkan shalat 5 waktu serta rukun Islam.

“Artina Cikondang teh cik, ngancik, lain cai. Jadi Cikondang teh, artina Cikondang teh anu nyebarkeun agama islam teh garis besarna tinggal didieu. Ari Kondang artina teh terkenal, jadi Cikondang teh artina terkenal.” 

“Artinya Cikondang itu cik, ngancik, bukan air. Jadi Cikondang itu artinya yang menyebarkan agama Islam, garis besarnya tinggal disini. Sedangkan Kondang artinya terkenal, jadi Cikondang artinya Terkenal,” begitu tutur sang juru kunci, Anom Yuhana. 

Sebuah kampung yang terletak dibawah kaki Gunung Tilu, tepatnya di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kampung adat yang hanya ditinggali oleh masyarakat asli keturunan pendiri kampung tersebut. Memegang erat kearifan lokal, budaya yang kental, dan konsisten dalam penjagaannya. 

Penjagaan Bumi Adat

Bumi adat dijaga dengan baik oleh para keturunan asli pendiri Kampung Adat Cikondang. Uyut istri, uyut pameget, begitu orang-orang mengenalnya sebagai pendiri kampung adat. Hingga saat ini, bumi adat dijaga oleh seorang juru kunci. Anom Yuhana, pria paruh baya berusia 78 tahun yang setia menjaga bumi adat di masa tuanya. Ia adalah keturunan asli pendiri kampung adat yang berasal dari silsilah keluarga sang ibu. 

Pria yang kerap disapa Ki Anom itu menjelaskan bahwa sebetulnya keturunan dari ayah lebih diutamakan menjadi juru kunci daripada keturunan dari ibu. Namun, karena tidak ada lagi keturunan asli yang bisa menjadi juru kunci, Ki Anom pun terpilih. Niat hati yang baik, menjalankan tugas dengan benar dan penuh ketulusan, menjaga setiap amanat yang dititipkan oleh leluhur sudah menjadi tugas utama seorang juru kunci. Dimana ia harus mendampingi siapapun yang berkunjung ke bumi adat, termasuk orang-orang yang ingin berziarah. 

Konon katanya, dahulu kala seorang wali datang dan menetap di Kampung Cikondang untuk mengajarkan agama Islam. Hutan larangan yang berada di belakang bumi Adat, menjadi salah satu tempat yang digunakan untuk menyebarkan agama islam secara sembunyi-sembunyi. Diceritakan juga bahwa hutan larangan ini pernah menjadi tempat untuk bersembunyi dari Belanda kala itu. 

Hutan larangan menjadi salah satu tempat yang disakralkan. Ketika masuk kedalamnya, siapapun harus membuka alas kaki, serta melangkahkan kaki kanan lebih dulu untuk masuk. Wanita yang sedang mengalami siklus bulanannya tidak diperkenankan masuk ke dalam hutan larangan tersebut. 

Hal yang sama juga berlaku untuk masuk ke bumi adat. Sebuah bangunan dengan obor yang menyala, listrik tidak dibiarkan menyentuhnya. Desain bangunan jaman dulu berbahan dasar kayu, membentuk rumah panggung yang khas. Ketika masuk, di sebelah kiri akan tampak Hawu atau tungku untuk memasak. Jika dinyalakan, ia dapat menghapus udara dingin yang mungkin masuk lewat celah kayu kala hujan mengguyur, sembari memasak air untuk teh atau kopi. Biasanya tamu yang berkunjung akan dipersilakan untuk duduk beralaskan karpet yang berada di tengah ruangan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun