Jogja Senjakala
Penghidupan awal rantau, diantara kehidupan
Antara mbok-mbok bakul dan laki-laki tanpa kelamin
Dikost impian, kota harapan
Musim kemarau dan hujan saling memacuku untuk terus bertahan hidup
Diantara jalan panjang berkelokan, memberanikan diri untuk mulai menari
Gedung-gedung dan tangan mengabur dalam senja
Jogja dan imaji membara dilangit timur daya
Oh..kota harapan
Aku akan mulai bertahan
Di tengah-tengah kesibukandan penderitaan
Seperti mimpi, bertemu dengan nama-nama yang kutemui dimedia massa
Kesenangan kala kecil yang tanggal
Menyeret pada tempat yang mempertemukan saya dan dia
Dan kita saling berbincang tentang kesenangan dan kebutuhan
Menunggu waktu senja
Diluar yang sederhana, aku asing
Nyanyian-nyanyian melankolis yang bercandu curahan
Aku mulai memahami kata demi kata
Dari penyair-penyair yang kutemui, di Jogja memulai hidup dengan hobi
Sederhana, mengajak khayalku melayang pada perbatasan derita
Musim bergantian menelan asa
Memahat keresahan panjang, bahwa hidup adalah berbuat
Tanpa harus mengenal keluh, bahwa hidup dinikmati
Di bawah bayangan samar istana sultan
Layung-layung senja mempertegas keadaan
Dalam merah menjulur tegas
Jogja mengajariku berani
Jogja melatihku menulis
Jogja menjaga tinggi darahku
Tempat harapan mengukir cita
Senjakala menggeserku dari mimpi pada kehidupan
Yogyakarta, 6 Februari 2011
Belajar di Kota rantau
Aku tulis puisi ini
Karena proses mengajari tentang kesabaran
Menderita untuk menjalani hidup
dan keluh dibuang dari diri
Menjadi konsultan diri
Tempat yang membuatku asing
Kini menjadi teman kesendirian
Frandebug, aku dan dirimu bertemu
Menuai cerita tentang kehidupan di Jogja
Merajut anyaman untuk kelangsungan hidup
Aku tulis puisi ini
Karenan puisi bukan tabu
Lalu patung-patung di dalam ruangan itu bercerita
Nenek moyang kita ditelan senjata
Dijogja aku dan dirimu bertemu pada satu ruang tak terbatas
Senjata menjadikanku melata pada altar harapan
Aku ingin memainkan patung-patung di dalam kaca
Aku ingin membuat isyarat asap kaum buruh
Yang tegar, bersahajamenjalani hidup
Di Jogja aku menjadi buruh tukang masak
Tapi bukan buruh katanya
“masakanmu ketimur, dan lidahku ada ditengah”
Aku tidak menemukan alasan
Kenapa harus manis
Aku ingin secara wajar kita bertukar rasa.
Masak sama, sambil mengatakan ini rasaku dan ini rasamu
Kita akan bertemu dalam rasa-rasa kita masing-masing
yang congkak bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Rasa kita ternyata saling memberi kenikmatan
Yogyakarta,2 Juli 2011
Penghujung April
Diam memberi isyaratyang menandai ingatan
Pada ujung percakapan menyertakan bara harapan
Menyelindap diantara cemas dan optimis
Disetiap pertemuan aku menari pada mimpi
Menyelimuti musim dimana kamu dipertemukan
Kau mengirimkan lukisan tentangku dan mimpiku
Barangkali akan mewakili senja yang bercerita tentang perbincangan hangat tentang aku dan kamu
Mimpimu akan kau jumpai, Sayang . . .
Dan mimpiku akan ku jumpai bersama nada-nada Beo yang tak pernah mengeluh
Dan kita masih dalam pertemuan
Penghujung April kita menanggalkan cerita kegagalan
Mengukir imaji menjadi ada
Dan disetiap lukisan-lukisan itu akan mengamini mimpi-mimpi besar kita.
18 April 2012
Sebaris Mimpi
Mencintamu adalah sakit
Merindukanmu adalah air mata
Mimpi itu isyarat juga tanda, bahwa aku mencintaimu dengan tulus
Kenyataan yang berbalik memberi isyarat lain bahwa sakit adalah mencintamu
Bahwa air mata ketika merindukanmu
Sanizah, disetiap jengkal nadiku ada harapan bersamamu
Aku memang bukan yang pertama yang hadir, begitu juga kau
Kedua yang hadir setelah rembulan lalu purnama adalah kau
Inginku pertama bagimu. Namun percayalah kau masih ada di hati
Sanizah, bila waktu tak memihak pada mimpi.
Percayalah akan tetap ku rengkuh kesaksian diatas sepertiga malam
Karena cinta memang perjuangan melawan kenyataan
5 Juni 2012
Yogyakarta sebatas pagi yang senantiasa merindu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H