Mohon tunggu...
Nazilatus Sholikhah
Nazilatus Sholikhah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Politik UIN Sunan Ampel SBY

Selanjutnya

Tutup

Politik

Utopisme Pemberantasan Korupsi Pada Era Otonomi Daerah

7 Desember 2024   19:02 Diperbarui: 7 Desember 2024   20:10 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemberantasan korupsi pada era otonomi daerah hanyalah pepesan kosong. Ketidakberanian pemimpin daerah dalam mengawal pemberantasan korupsi menjadi salah satu isu pokok yang terjadi pada masa sekarang. Begitu pula sikap masyarakat yang permisif cenderung membiarkan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh pejabat daerah. Situasi tersebut menciptakan ruang nyaman bagi para pelaku korupsi untuk terus beroperasi tanpa rasa takut akan konsekuensi. Sidoarjo dan Semarang menjadi contoh konkret bagaimana pemberantasan korupsi di era otonomi daerah sering kali hanya menjadi wacana tanpa tindakan nyata.

Ungkapan "pepesan kosong" cocok untuk menggambarkan pemberantasan korupsi di era otonomi daerah yang dianggap tidak efektif atau hanya wacana tanpa tindakan nyata. Banyak sekali kebijakan atau program-program yang dicanangkan untuk memerangi korupsi, namun hasilnya tidak signifikan dan praktik korupsi masih merajalela. Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 1 menyatakan bahwa, melalui otonomi daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan besar untuk mengelola sumber daya dan kebijakan di wilayahnya. Pada kenyataanya, kewenangan tersebut sering kali disalahgunakan oleh stakeholder untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang menyebabkan korupsi terus berkembang.

Ketidakberanian para pemimpin daerah dalam memerangi korupsi mencerminkan ketidaktegasan mereka dalam mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memberantas praktik tersebut. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Menurut Areif Munandar (2024), jika ditinjau dari Teori Korupsi yang dicetuskan oleh Jack Bologne, korupsi disebabkan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan yang besar tanpa adanya pengawasan. Kurangnya integritas atau komitmen moral para petinggi daerah yang memiliki ketakutan untuk menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi atau kelompok menjadi salah satu penyebab utamanya.

Lebih parahnya lagi, ketergantungan pada jaringan patronase atau sistem politik yang korup sering kali membuat mereka terjebak dalam lingkaran praktik korupsi itu sendiri, sehingga sulit untuk melawan arus atau melakukan perubahan yang berarti. Isu sentral yang dihadapi banyak daerah saat ini bukan hanya korupsi itu sendiri, tetapi juga lemahnya kepemimpinan dalam mengatasi korupsi. Dimana semangat reformasi dan transparansi sering kalah oleh kepentingan pragmatis dan politik.

Di Sidoarjo, bupatinya di non-aktifkan. Ahmad Muhdlor Ali, didakwa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi berupa pemotongan insentif aparatur sipil negara (ASN) sebesar 1,4 miliar. Kasus ini mencuat setelah KPK menemukan bukti adanya aliran dana yang melibatkan pejabat daerah dalam praktik korupsi tersebut. Muhdlor terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup.

Dalam sidang pertama di Pengadilan Tipikor Surabaya, jaksa mengungkapkan bahwa Muhdlor, melalui sopir pribadinya, meminta uang bulanan dan melibatkan Kepala Badan Pelayanan Pajak Daerah dalam aksi pemotongan insentuf pegawai. Sejak 2021, total insentif yang dipotong mencapai lebih dari Rp8,5 miliar. Ia terancam pidana penjara antara 4 sampai 20 tahun disertai denda. Muhdlor menerima dakwaan tanpa mengajukan keberatan, sementara pembelanya akan fokus pada pembuktian fakta selama persidangan.

Sementara itu, di Semarang, praktik korupsi yang melibatkan oknum pejabat daerah menunjukkan bagaimana penyelewengan kekuasaan terus terjadi meskipun ada upaya reformasi birokrasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menyelidiki dugaan kasus korupsi di Pemerintah Kota Semarang yang melibatkan praktik pemerasan, gratifikasi, serta pengadaan barang dan jasa. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu (2024), menjelaskan bahwa meskipun kasus ini melibatkan beberapa pasal, hanya satu Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan karena semua pihak yang terlibat terkait dalam satu rangkaian kasus. Sebagai bagian dari penyidikan, KPK telah mengajukan larangan bepergian bagi empat orang, terdiri atas dua pejabat negara dan dua pihak swasta.

Penggeledahan di kantor Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu, juga dilakukan sebagai langkah penyelidikan lebih lanjut. Dugaan utama mencakup pemerasan terhadap pegawai negeri terkait insentif pajak dan retribusi daerah, serta penerimaan gratifikasi selama periode 2023 hingga 2024. Hingga kini, penyidikan masih berlangsung, dan identitas tersangka belum diumumkan ke publik.

Kasus ini menggambarkan bagaimana praktik korupsi dapat mengakar dalam sistem pemerintahan daerah dan menyoroti pentingnya pengawasan serta akuntabilitas yang lebih ketat untuk menjaga kepercayaan publik. Kasus ini juga menunjukkan betapa pentingnya transparansi dalam pengelolaan dana publik agar digunakan secara tepat dan tidak disalahgunakan. Selain itu, upaya penegakan hukum yang dilakukan KPK diharapkan tidak hanya memberikan efek jera tetapi juga menjadi langkah awal untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan di Indonesia secara menyeluruh.

Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan korupsi oleh aparat pemerintahan daerah, menurut saya, sangat perlu untuk menerapkan mekanisme pengawasan yang ketat disertai pemberian sanksi yang tegas. Hal ini harus menjadi prioritas utama agar otonomi daerah tidak dimanfaatkan oleh para aktor politik lokal untuk meraup keuntungan besar ditengah berbagai tekanan hidup yang semakin menghimpit masyarakat. Penting juga bagi kita, untuk mengawal pelaksanaan otonomi daerah agar dapat mewujudkan demokrasi lokal yang kita impikan. Korupsi harus dipandang sebagai musuh bersama yang tidak boleh ditoleransi dalam bentuk apapun!

Memahami elemen-elemen dalam teori GONE (Greed, Opportunity, Need, Exposure) yang dicetuskan oleh Jack Bologne juga sangat penting untuk memberikan wawasan berharga bagi lembaga pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam mendesain serta melaksanakan strategi pencegahan korupsi. Pendekatan yang dikembangkan oleh Jack Bologne menyediakan kerangka kerja untuk menilai risiko korupsi dan mengimplementasikan kebijakan yang lebih efektif dalam mendorong integritas serta akuntabilitas. Melalui penerapan teori GONE, diharapkan tercipta lingkungan yang lebih transparan dan adil, sehingga korupsi dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun