[caption id="attachment_80549" align="alignleft" width="300" caption="poster "Kabayan jadi Milyuner""][/caption] JAMIE ADITYA pernah tampil mengesankan sebagai Si Kabayan, tetapi dalam durasi yang pendek. Yakni dalam iklan Coca Cola di televisi, beberapa waktu silam. Lalu apakah ia juga berhasil, ketika berperan sebagai tokoh kocak ini dalam durasi standar layar lebar? Tampaknya, belum. Dalam film "Kabayan jadi Milyuner" produksi Starvision (2010), Jamie yang mantan VJ MTV ini tampak tidak begitu meyakinkan menerjemahkan sosok Si Kabayan yang kocak, cerdas, sekaligus terlihat dungu sebagaimana yang selama ini kita dapatkan tipikalnya dalam cerita-cerita Si Kabayan yang sangat familiar. Yang ada hanyalah pemuda biasa, dengan lafal Sunda yang sering terdengar kagok. Jamie memang urang Sunda, tapi mungkin lidahnya lebih akrab dengan Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, yang membuat obrolannya saat berbahasa Sunda terdengar tidak plastis. Tapi bila film ini terasa gagal memunculkan sosok Si Kabayan, tentu bukan kesalahan dia sendiri. Ada faktor lain yang membuat film ini tampak kedodoran, yakni lemahnya skenario dan penyutradaraan. Cassandra Massardi yang menulis skenario, dan Guntur Soeharjanto sebagai sutradara, tampaknya tak begitu akrab dengan tokoh Si Kabayan. Mereka hanya meminjam nama Si Kabayan, demi cerita biasa yang lebih cocok untuk sinetron, di mana penonton tak usah bayar tiket. Jika pun tokoh ini diganti dengan nama lain, maka tak ada yang akan berkurang nilainya, karena Si Kabayan dikisahkan tak lebih sebagai orang kampung yang mencintai gadis modern, cantik, putih, terpelajar, bekerja di perusahaan multi nasional dan hidup di Jakarta yang anehnya bernama Iteung (diperankan dengan paspasan oleh Rianty Cartwright). Nama Iteung (yang di film ini sering diucapkan dengan "Iteng"), memang soulmate Si Kabayan seumur hidupnya (kecuali dalam cerita bikinan Ahmad Bakri 'Lebe Kabayan', istri Si Kabayan bernama Ijem). Tetapi terasa sedikit memaksakan nama Iteung yang terdengar arkais ini diterapkan pada gadis dengan citra kosmopolitan yang lekat, meski nol koma nol sekian persen hal ini bisa saja terjadi. Pada serial Si Kabayan terdahulu yang skenarionya ditulis Eddy D. Iskandar, Iteung tetap sebagai orang kampung yang dicintai Kabayan. Persoalan datang dari orang kota yang menimbulkan konflik penguji kesetiaan Si Kabayan pada Iteung. Sebenarnya bisa saja keluarga Abah dan Ambu plus Iteungnya ini ditempatkan sebagai kaum urban di Jakarta, tinggal di apartemen mewah, tetapi logika yang muncul, kehidupan kosmopolitan tidak saja bisa mengubah cita rasa dan watak seseorang, apalagi bila ditunjang dengan kekayaan melimpah, tetapi juga bisa saja mengubah cara pandang mereka terhadap identitas pribadi yang seringkali akan disesuaikan dengan gengsi yang mereka butuhkan dalam pergaulan serba modern. Jika saja penulis skenario memberi sedikit alasan untuk hadirnya logika di atas, tentu panggilan Abah, Ambu (yang digambarkan begitu narsis dan gila facebook), serta nama Iteung dalam latar kehidupan kosmopolitan, akan lebih bisa diterima. Tokoh Si Kabayan sendiri yang cerdas dalam melihat persoalan, sekaligus mampu menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri yang seringkali menimbulkan efek kocak, sama sekali tak muncul. Hingga ungkapan Armasan (Amink) yang mengatakan Si Kabayan sebagai orang yang cerdas bagai kancil, terdengar hanya sebagai omong kosong. Dan kecerdasan Kabayan dalam menyelesaikan konflik juga sama sekali tak muncul. Ketika Kabayan ditantang oleh Abah untuk mencari uang satu milyar, yang kemudian terjadi adalah rangkaian cerita klise serba kebetulan. Bahkan, penulis skenario masih perlu menghadirkan jin penolong, agar cerita terlihat mulus. Jin ini (yang mengingatkan kita pada film "Si Kabayan dan Anak Jin") hadir dengan efek visual yang tak lebih bagus dari sinetron "Jin dan Jun" tempo lalu di televisi. Cerita "Kabayan jadi Milyuner" sebenarnya punya potensi yang menarik. Alkisah, seorang pengembang akan membangun hunian mewah, lengkap dengan pusat perbelanjaan dan fasilitas mewah lainnya, di lokasi kampung tempat Si Kabayan tinggal. Celakanya, yang akan dibeli dan digusur adalah pesantren di mana Si Kabayan mengaji kepada seorang Ustadz Soleh (Slamet Rahardjo). Boss Rocky (Christian Sugiono) bersama Iteung datang untuk membeli tanah dan juga lokasi pesantren itu. Kabayan jatuh cinta pada Iteung, yang dimanfaatkan Boss Rocky untuk mengelabui Kabayan agar menandatangani surat jual beli tanah. Kabayan ceroboh, surat itu ia tanda tangani karena menyangka itu surat untuk pernikahannya dengan Iteung. Hingga akhirnya ia sadar, dan berusaha akan merebut kembali pesantren itu setelah Iteung ternyata hanya datang untuk menipunya atas suruhan Boss Rocky. Misi Si Kabayan kemudian ada dua, menggagalkan penghancuran pesantren dan merebut cinta Iteung. Karena itulah Si Kabayan bersama Armasan pergi ke Jakarta, hingga akhirnya diberi tantangan oleh Abah agar Si Kabayan mencari uang satu milyar untuk menebus kembali tanah pesantren. Kabayan dan Armasan lalu mencari uang dengan mengamen, ikut kasting film, juga ikut berdemo dan sempat dipenjara (sampai di sini, kita banyak disuguhi adegan tempelan yang entah kenapa, terasa cemplang, semisal adegan munculnya hantu, bencong, tapi sedikit segar oleh adegan demonstrasi yang lumayan menggelitik). Uang satu milyar datang dari kebaikan seorang anggota DPR (Denny Chandra), teman sepermainan Kabayan di kampung dulu. Uang itu lalu menjadi bekal Si Kabayan untuk menghentikan penghancuran pesantren. Bila melihat susunan pemain, selain Jamie Aditya dan Rianty Cartwright pemegang roll utama, tentu kehadiran Didi Petet, Meriam Bellina, Slamet Rahardjo, Amink, plus puluhan artis terkenal sebagai cameo (dua di antaranya adalah Dicky Chandra dan nyonya, Wakil Bupati Garut, yang berperan sebagai dalang wayang golek) seharusnya menjadi potensi besar yang bisa digali kualitas aktingnya. Tapi entah kenapa, semua jadi serba tanggung. Taburan bintang itu tampil dalam kualitas akting biasa-biasa saja karena tidak didukung cerita yang benar-benar menantang. Hadirnya Melly (yang juga main sebagai sekretaris genit) sebagai pengisi soundtrack bisa jadi sesuatu yang menyegarkan, meski membuat film ini menjadi sedikit berkurang atmosfer Sundanya, sebagaimana dulu terasa dalam seri Si Kabayan yang pengerjaan soundtracknya dikerjakan Ubun R. Kubarsyah, dengan illustrasi karya penata musik Harry Roesli. Terlepas dari serba tanggungnya film "Kabayan jadi Milyuner", film ini bisa menjadi harapan kelak akan kembali diproduksi serial film Si Kabayan yang lain untuk layar lebar oleh Starvision. Jamie Aditya mestinya masih menyimpan potensi akting yang baik sebagai Kabayan, dengan arahan sutradara yang di masa datang mudah-mudahan benar-benar memahami karakter tokoh Si Kabayan. Si Kabayan, sosok urang Sunda yang akrab dengan citra heuheuy jeung deudeuh, serta geus teu nanaon ku nanaon, masih perlu penggalian yang lebih mendalam untuk ditampilkan di layar lebar, agar tidak sekadar tampil sebagai badut, yang sayangnya di film "Kabayan jadi Milyuner" ini, tidak mampu mengajak penonton untuk tertawa.*** Nazaruddin Azhar Penikmat Film
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H