Ketahanan pangan nasional merupakan hal pokok penunjang pembangunan dan peningkatan kualitas hidup negara. Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat membuat permintaan akan pangan terus meningkat, hal ini mempersulit dalam perwujudan ketahanan pangan pada tingkat nasional maupun global (makro).Â
Produksi pangan juga akan sulit karena pengaruh perubahan iklim. Peringatan dari FAO mengenai ancaman krisis pangan karena dampak terjadinya pandemi Covid-19 juga mempersulit perwujudan ketahanan pangan nasional. Oleh karenanya, pemerintah membuat program Food Estate yang dinilai mampu mengatasi dan meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Food estate merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024 dengan konsep peningkatan pangan yang terintegrasi. Program ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan pangan yang mencakup sektor pertanian, perkebunan, hingga sektor peternakan. Food estate dibangun di tiga provinsi besar yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Food estate direncanakan akan terus dikembangkan sampai tahun 2024 dan menjadi lumbung pangan baru di Indonesia.Â
Program Sebelumnya
Gagasan seperti food estate sebenarnya sudah pernah dijalankan beberapa kali, yaitu pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden SBY. Saat masa pemerintahan Presiden Soeharto, proyek ini dikenal sebagai Proyek Lahan Gambut (PLG) yang juga diadakan di Kalimantan Tengah. Namun, proyek yang dicetuskan Presiden Soeharto ini mengalami kegagalan karena dikritik mengenai dampak terhadap lingkungan. Kemudian ide yang sama muncul pada masa pemerintahan Presiden SBY, ide tersebut dituangkan kedalam program yang diberi nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).Â
Namun proyek kembali gagal usai menuai kritik dari aktivis lingkungan, institusi riset, dan akademisi karena dianggap mengabaikan eksternalitas negatif seperti deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati, konflik sosial/agraria, dan tekanan atas kehidupan masyarakat sekitar (Indonesian Center For Environmental Law, 2020).
Presiden Jokowi mencetuskan program food estate yang pada pelaksanaannya tidak berbeda dengan program sebelumnya. Baik program food estate dan dua program sebelumnya memiliki kebijakan yang menjadi ancaman bila dilihat dari ekologi dan keberlangsungan alam dan isinya. Program food estate dinilai melanggar etika lingkungan karena dalam pelaksanaannya cenderung mencerminkan sikap antro antroposentrisme. Dimana sikap antroposentrisme ini menganggap manusia dan kepentingannya lah yang paling menentukan tatanan ekosistem.
Permasalahan Lingkungan
Ekosistem lingkungan kita terancam rusak karena adanya sikap antroposentrisme yang dimiliki oleh pemerintah dalam melaksanakan program food estate ini. Sikap antroposentrisme ini terindikasi dari bagaimana mereka membuat target dan usaha yang dilakukan dalam menjalankan program ini.
Pertama, luasnya lahan yang menjadi target program ini dinilai terlalu eksploitatif, dengan rincian di tiga provinsi, yaitu Kalimantan Tengah (180 ribu hektar), Sumatera Utara (60 ribu hektar), dan NTT (5 ribu hektar), dan perkiraannya dapat bertambah seiring dengan berjalannya program ini. Masifnya luas lahan yang menjadi target program food estate ini semakin menguat dengan adanya Permen LHK No 24 Tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.Â
Kebijakan  berisi tentang penyediaan lahan untuk program food estate yang boleh dilakukan pada kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. Kebijakan ini dinilai merusak ekosistem karena secara tidak langsung kebijakan ini mendukung deforestasi demi membuka lahan untuk proyek food estate.