Mohon tunggu...
Nayyara Zafira
Nayyara Zafira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Mahasiswi S1 Farmasi di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Mengenal Hustle Culture, Motivasi atau Habit Buruk?

16 Juni 2024   22:00 Diperbarui: 16 Juni 2024   22:16 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Apakah kalian memiliki kebiasaan mengerjakan semua tugas yang dimiliki dalam suatu waktu? Apakah kalian merasa resah ketika tidak melakukan suatu yang produktif? Atau kalian tidak pernah merasa cukup atas pencapaian yang dimiliki, maka dari itu kalian selalu mengambil kesempatan untuk berbuat lebih? Jika kalian menjawab iya pada seluruh pertanyaan tersebut, kemungkinan besar kalian mengimplementasikan hustle culture

Hustle culture banyak diperkenalkan lewat karya di media sosial dimana hal tersebut bisa memicu seseorang untuk melakukan yang lebih untuk mencapai suatu prestasi. 

Mungkin hanya sekadar melihat seseorang yang meromantisasikan bekerja hingga larut malam di platform media sosialnya juga bisa memicu pemikiran “Apakah seharusnya saya juga melakukan hal yang sama ya?”. Terkadang faktor ekstrinsik yang dapat membangunkan motivasi memang dibutuhkan, tetapi jika menghasilkan output yang membuat seseorang merasa lelah atau tidak pernah puas juga akan membahayakan kesehatan mental, bahkan fisik.

Hustle Culture, Seperti Apa Sih?

Salah satu ciri yang dialami oleh seseorang yang melakukan hustle culture adalah menetapkan target yang tidak realistis untuk mereka lakukan. Tidak realistis di sini dapat bersifat “terlalu susah dilakukan dalam waktu singkat,” sesuai dengan pengertian kata hustle yang berarti “cepat” atau “terburu-buru” maka orang-orang tersebut akan menggunakan waktu luang ataupun waktu istirahat mereka demi mencapai target tidak realistis mereka. 

Penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani et al (2022) juga menjelaskan mengenai ciri-ciri hustle culture, yakni remaja ataupun pekerja kerap merasa cemas dan bersalah ketika mereka beristirahat sesuai dengan aturan jam kerja normal, yakni 5-7 jam per hari atau 5-6 hari dalam seminggu. Selain itu, remaja ataupun pekerja juga akan merasakan kelelahan atau burnout karena terlalu memaksakan diri melakukan pekerjaan yang signifikan tanpa istirahat yang cukup. 

Dikutip dari Alodokter bahwa waktu istirahat atau tidur yang ideal untuk dewasa dan remaja adalah sekitar 7 hingga 8 jam. Jika waktu istirahat dikorbankan, maka akan menyebabkan komplikasi seperti melemahnya sistem imun, penyakit kardiovaskular, tekanan darah tinggi, dan stroke. 

Kekurangan tidur atau istirahat juga akan menurunkan kemampuan kognitif, dimana seseorang akan susah fokus dalam melakukan suatu pekerjaan, ini akan menjadi bahaya jika mereka melakukan kegiatan yang berisiko tinggi, seperti bekerja di laboratorium. 

Selain menyebabkan dampak buruk untuk kesehatan fisik, hustle culture juga dapat berdampak pada kesehatan mental. Stress dan depresi dapat disebabkan oleh perasaan tidak pernah puas terhadap diri sendiri. 

Seseorang akan terus mencari-cari kesalahan dari sesuatu yang mereka kerjakan dan mencoba untuk memperbaiki hal tersebut. Terkadang jika hasil tersebut tidak sesuai ekspektasi, seseorang akan mengalami panic attack atau merasakan kecemasan yang berlebihan. Hingga secara tidak langsung, overthinking yang mereka alami akan berdampak kepada kesehatan fisik mereka. 

Cara Mencegah Hustle Culture

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun