Hah? Berani kok malu? Apaan nih? Judul ketikan yang aneh?
Hehe,mungkin terdengar sedikit aneh dan tidak wajar. Memang,maklum yang ngetik juga aneh kok. Hehe,yang namanya beranikan sewajarnya tidak malu. Namun yang saya maksud malu disini tidaklah seperti itu,saya akan menguak malu sebagai sebuah fenomena sosial. Yang berbeda dari yang lain. Ingin tahu? Segera kita simak ulasannya berikut ini...
Malu sepertinya telah menjadi salah satu sikap yang berharga mahal di masa kini. Bagaimana tidak? Fenomena sosial media membuat manusia seakan-akan tidak ada batasnya untuk bersosialisasi,meskipun itu hanya di dunia maya. Mulai dari berekspresi,hingga mencurahkan isi hati. Semuanya ada di sosial media,jenis apapun pula. Hal itu membuat saya merasa kalau budaya lama kita itu mulai luntur. Miris bukan?
Bagaimana tidak miris? Berapa banyak anak yang baru beranjak remaja mengupload foto yang terkesan vulgar di akun sosmed mereka,kalau semua ditelisik kegilaannya bukan main. Yang close up in wajahnya,sampai di komen “cantik”,”imut deh”,”manis”.. Hingga dia sendiri kagak tau kalau jerawatnya bertebaran dimana-mana.
Sebagai contoh sederhana gini,baru-baru ini saya melihat foto adegan ciuman temen semasa sekolah saya sendiri dulu di salah satu jejaring sosial. Jujur saya kaget,dimanakah rasa malunya mereka? Dengan beraninya membeberkan hal yang privasi itu. Dan yang lebih parah lagi nih yang nyium itu yang perempuan coy,berhijab lagi. Begitukah muslihat hijab? Hadeh,serta satu lagi nih dengan pedenya dia nyium pacar yang belum tentu jadi muhrimnya itu dan diabadikan selanjutnya dibagikan di tempat umum. Wow? Lebih ngerinya lagi,ada yang dengan bangga komen kurang lebihnya seperti ini “pasangan so sweet”. Sekarang dimanakah rasa malu itu? Banggakah mereka? Apakah mereka tidak mengenal lingkup yang namanya privasi dan hal-hal yang pantas untuk dibagikan semestinya atau tidak? Itu contoh sederhananya,dan ini real temen saya sendiri. Kalau kamu kepo, mau ngelihat realitanya silakan kontak saya lebih lanjut.
Kupikir dulu cuman artis saja yang bisa kayak gitu. Zaman semakin maju,sosial media sudah bak panggung pribadi bagi mereka yang mungkin terobsesi menjadi artis,yaa artis sosial media. Tiap hari mengunggah foto baru,lagi makan nih sama temen-temen... lagi nongkrong sama temen-temen...lagi kumpul bareng keluarga.... Lihat ! Semua aktifitas dijadikan prioritas berbagi di sosial media. Berbagi? Menurut saya tidak,bukan berbagi. Istilah berbagi itu bagai istilah terselebung dari sebuah kata “pamer”.Tidak sekalian saja, diri itu diunggah di sosmed,hidup disosmed saja.
Mengapa saya berpersepsi kalau itu “pamer”?
Pertama,kita semua tahu kalau makna kata dari “berbagi” itusama dengan memberi. Memberi jika maknanya diperdalam bagi saya itu,”memberi manfaat”. Terus apakah mengunggah foto selfie itu memberi manfaat? Foto close up muka? Ekstrim Close Up?Ekspresi lebay? Alay? Duckface? Selfie? Grufie? Papi? Mami? FOTO CIUMAN? Apakah hanya sampai disitu kualitas kita dalam berbagi terhadap sesama? Tolong dipikir lagi! Renungkanlah...
Kedua,apakah foto itu bisa dijadikan sesuatu hal yang bisa kita berikan ke sesama. Layakkah? Pantaskah? Saya rasa tidak.
Berikutnya dari pengamatan saya, hal yang dibagikan itu kebanyakan hanya hal-hal yang bersifat duniawi semata. Contoh: foto rekreasi,jalan-jalan,pacaran,mendapati hal-hal yang membanggakan dan lain sebagainya. Baiklah,saya nilai wajar kalau itu dilakukan satu,dua,atau tiga kali saja. Sebagai sarana hiburan dan mengikuti arus netizen,meskipun kadang ada juga yang menurut saya itu berlebihan. Yang wajarlah pokoknya. Anda mesti mengerti kadar wajar yang saya maksudkan bukan? kalau anda belum terjangkit sindrom ini. Buat yang belum? Anda juga manusiakan? masak nggak ngerti!!! Akal sehatnya mana?????
Baiklah,daripada saya ribut sendiri maka lebih baiknya saya jelaskan untuk yang tidak wajar itu. Yang tidak wajar itu seperti,membuka sosmed niatnya cuma mau mengunggah foto habis jalan-jalan dari Jogja,Jakarta,Surabaya,bilapun memang menjadi penghuni tetap suatu sosial media (seperti saya yang sering ON dan berkicau di twitter) intensitasnya itu keterlaluan kalo saya bilang. Bagaimana tidak keterluan? Isinya cuma update’an kesehariannya saja,makan pake apa,jalan sama siapa,bareng sama siapa,lagi dimana,semua deh kayak benar artis ibukota. Tiap Minggu upload foto habis jalan-jalan sama teman,pacar,mantan.... Apalagi yang ciuman itu tadi. *eh
Tiap bikin status sering yang kayak begini “makasih,udah dikasih es krim sayang” “Tft sayang” (Singkatan TFT itu thanks for today) dan masih banyak lagi yang kayak gitu. Kurang lebihnya sama. Dalam hati saya selalu membalas,”mbok yo bilangnya itu ke pacar,atau siapalah yang di anggap sayang,jgn di umbar.Emang jemuran?”
Sekarang sudah mengerti?
Kalau semisal anda seorang publik figur saya pikir itu wajar,karna yang namanya publik figur itu milik masyarakat jadi wajar kalau berkelakuan seperti itu,biar mereka dinilai ramah,welcome sama masyarakat,terutama fans mereka.
Balik lagi ke topik ketikan ini. Mungkin anda yang baca ketikan ini pasti nganggep saya iri, makanya berpendapat seperti itu,nggak bisa ngikuti arus trend netizen kayak yang lain. Bolehlah anda seperti itu. Dulu memang saya juga pernah setidaknya seperti itu,tapi beberapa bulan ini,setelah membaca,menelisik,menelaah,dan merenung,saya tersadar kalau yang saya lakukan kemarin-kemarin itu berlebihan. Maka dari itu saya ketik hal ini,agar kelak ada juga orang yang sadar (walupun cuma sedikit) kalau hal itu bukanlah hal yang baik,apalagi bermanfaat. Jika anda mau pamer,pamer aja “karya” saya setuju sekali dengan itu,saya dukung,dan saya ikut senang. Biar anda bisa maju,biar anda bisa tahu dan mengerti sampai sejauh mana kualitaskarya anda itu. Walaupun banyak orang yang bilang ke saya,”jangan jadi pemalu dong,nanti kamu akan tidak mudah berkembang”,memang bukan kata-kata seperti itu yang mereka ucapkan,namun tersirat begitu di relung jiwa saya. Saya memang merasakan kalau malu itu terkadang menyiksa. Ketika yang lain berani, saya hanya bisa tertegun diam,tertunduk lesu,lemas,dan saat maju ke depan, degup jantung berdegub begitu kencang,ibarat tempo drum di Closer to the edge milik 30 Second to Mars. Bahkan sifat malu itu terkadang malu-maluin buat saya. Ya begitulah mental saya... Sungguh menyedihkan. Saya sadari itu dan usaha memperbaikinya selalu ada walaupun tidak banyak membuahkan hasil.
Banyak orang luar disana yang jauh lebih baik dari saya,atau mungkinkah itu anda? Entahlah.
Saya pikir benar apa yang digembor-gemborkan Presiden kita saat ini sewaktu beliau masih kampanye. Apa coba? Tidak banyak. Hanya dua kata yang sering disebut Revolusi Mental. Saya juga beropini kalau yang namanya revolusi mental itu tidak harus yang menggelagarkan dulu,hingga mengerahkan massa sebesar-besarnya. Saya pikir tidak begitu,itu kurang tepat bagi saya. Terkadang itu hanya akan membuang-buang energi semata. Sudah selayaknya revolusi mental ini dimulai dari yang kecil. Mengapa begitu? Menurut saya hal-hal kecil itu terkadang akan menjadi jauh lebih menakutkan ketimbang hal-hal yang besar. Hehe kalo ngetik yang satu ini jadi inget kata-kata Chef Marinka di Master Chef (bukan yang junior lho) yang “attention to detail”. Ia selalu berkata seperti itu disela-sela acara. Maksud dari ungkapan tersebut ialah kurang lebih kita itu harus memperhatikan hal yang lebih detail,seperti hal-hal yang kecil dan terkesan sepele. Sebagai contoh sederhananya, dari pengamatan saya selama ini,banyak orang yang lagi dalam proses menuju sukses itu mudah lalai pada hal kecil. Lebih detailnya tuh gini,contoh ada orang mau UN nih,dia sudah belajar mati-matian beberapa hari sebelumnya,bahkan malam maupun bulan. Tapi eh eh kagak disangka di hari buat tempur dia malah lupa sama kartu ujiannya,kemarin ditaruh mana? Udah kebuang apa belum? Yah pusing deh tu,wira wiri kesana kemari di hari ujian,yang lainnya pada belajar dia malah cari-cari orang,hubungin panitialah,gurulah. Bikin pusing bukan? Itu contoh hal kecilnya,biasanya banyak yang nggak hargai tuh kartu ujian,termasuk saya dulu tapi bukan waktu ujian nasional yaa.. Biasanya kartu ujian dipegang bentar terus entah ilang kemana?
Nah,mulai sekarang coba perhatikan hal-hal yang kecil namun bisa menjadi bumerang. Langkah-langkah kecil yang bisa jadi liang kita untuk terperosok ke dalam hal-hal yang tidak kita inginkan. Salah satu langkah kecil lainnya yang bisa dikatakan revolusi mental (mungkin) ialah mulailah untuk memelihara rasa malu,rasa malu itu baik kalo kita bisa mengolahnya pada tempatnya. Jagalah itu privasi,menjadi orang terbuka boleh-boleh saja,namun bukan berarti buka-bukaan kan? Jagalah itu barang yang berarti kemuliaan yang disembunyikan di balik kemaluan. Kemaluan yang saya maksud bukan yang jorok ya.. Tuhan kita saja menyuruh kita untuk malu kok,jadi jangan sedih kalo jadi pemalu. BERANIMALU. Justru kita harus bersyukur karna rasa malu di masa kini mulai langka,dan harganya terasa mahal. Yah meskipun terkadang menyebalkan dan menyedihkan,karna orang pemalu kebanyakan sedikit terbelakang dari yang lainnya. Seperti saya. Namun percayalah kalo perintah Tuhan itu tetap yang terbaik buat kita. Dan yang nggak kalah penting,itu merupakan salah satu budaya kita,budaya orang timur yang terkenal dan perlu dilestarikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H