Mohon tunggu...
Noura Nahdliyah
Noura Nahdliyah Mohon Tunggu... Guru -

Alumnus Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya. Jago bermimpi. Penikmat Novel. Penikmat Film. Suka menulis. Selalu iri dengan mereka-mereka yang pandai menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya dan Literasi

19 November 2014   06:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:26 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membudayakan literasi adalah cita-cita saya. Entah bagaimana caranya, saya ingin mempunyai perputakaan pribadi di rumah, berada pada lingkungan yang benar-benar "melek" literasi serta mampu mendidik anak-anak saya nanti dengan kebiasaan satu ini. Secara pribadi, saya mulai tenggelam dalam dunia literasi sejak dini. Saya sangat bersyukur dilahirkan di sebuah keluarga yang sadar betapa pentingnya membaca dan menulis. Saya terbiasa mendengar tante (adik dari bapak) saya yang selalu mendongeng sebelum saya tidur. Nenek saya pun melakukan hal yang sama. Kenapa bukan ibu saya? karena saya sudah punya adik ketika usia saya masih dua tahun jadi saya lebih banyak tidur dengan Tante dan Nenek. Meski begitu, ibu saya yang notabene adalah guru Taman Kanak-Kanak akan selalu meminjami saya buku-buku cerita bergambar dari perpustakaan sekolah, tentunya yang sesuai dengan usia saya. Bapak saya juga hobi membaca. Di rumah, kebanyakan buku-buku agama, filsafat islam, sejarah islam dan beberapa kitab kuning lainnya adalah milik Bapak. Saya baru sadar, kepergian Bapak sembilan belas tahun silam meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi kami ketiga anaknya, yakni buku-buku itu.

Saya sudah khatam Qishosul Anbiya' pada usia saya yang masih sembilan tahun. Meski saat itu saya tidak membaca ayat-ayat yang termaktub di dalamnya, namun saya dapat dengan mudah terbawa suasana ketika membaca kisahnya hingga di luar kepala. Saya lebih dahulu tahu tentang kisah Nabi Khidzir dan Nabi Musa ketimbang teman-teman saya saat itu. Ketika pelajaran Aqidah di sekolah sedang membahas itu, saya sudah memahami dan merasa pintar sendiri (Jangan ditiru kalau yang ini. Anak kecil biasa ingin mencari perhatian guru dengan menjadi sosok serba tahu dan bahkan sok tau).

Saya tidak pernah dipaksa untuk membaca. Saya selalu ingin tahu tentang hal-hal baru. Di rumah, banyak sekali cergam-cergam sederhana yang biasa saya beli di tukang mainan depan SD sdulu. Masih ada beberapa seperti Kisah Nabi-Nabi, Surga -Neraka, Punakawan, dan beberapa Cerita Misteri. Kalau tidak salah buku-buku kecil nan tipis itu harganya lima ratus rupiah, sekitar akhir tahun sembilanpuluhan atau awal duaribuan. Selain itu, saya rajin ke perpustakaan sekolah hanya untuk mengobrak-abrik majalah Mentari dan Bobo di lemari. Dua majalah itu yang selalu menjadi incaran saya. Saya sering bermimpi menjadi Nirmala dan saya paling muak dengan paman Gober. Saya juga ingat, buku paket Bahasa Indonesia jaman saya SD dulu terbitan Balai Pustaka. Di dalamnya banyak sekali cerita rakyat. Dari sinilah saya tahu cerita Malin Kundang, Sangkuriang, Roro Jongrang dsb.Ketika SMP, saya mulai bisa membeli buku yang agak "mahal". Saya selalu hunting komik detective Conan dan Doraemon di Pasar Pahing, pasar desa setempat. Selain itu komik-komik jepang lainnya saya pinjam dari teman. Barulah ketika SMA saya lebih serius membaca dan terkesan lebih memilih bacaan yang berat-berat.

Rasa ingin tahu yang tinggi tidak serta merta menghentikan bacaan saya pada satu buku itu saja. Saya akan selalu mencoba untuk mencari tahu hubungan-hubungan lain yang saling berkaitan dengan apa yang sedang saya baca. Seperti pada saat itu saya duduk di kelas dua SMP (sekarang kelas delapan). Saya menemukan istilah Segitiga Bermuda dari komik Doraemon. Ceritanya Nobita dkk terperangkap ke dalam segitiga sesat itu. Banyak kapal atau pesawat yang selalu hilang di sana. Saat itu saya belum mengenal internet. Dengan membawa sejuta penasaran saya menanyakan hal itu kepada guru Geografi. Dan saya pun menemukan jawaban yang logis tentang Bermuda. Jawabannya sangat ilmiah, tidak seperti tayangan televisi islami jaman sekarang yang yakin jika Bermuda adalah istana Dajjal (eh).

Bagi saya membaca adalah perintah Tuhan. Bukankah yang diperintahkan Tuhan untuk Muhammad pertama kalinya adalah Iqra', bacalah? Tidak membaca sama dengan mangkir dari peritah Tuhan, itulah yang saya jadikan pemacu untuk terus membaca dan membaca. Bagi saya, membaca adalah candu. Sedikit saya mencobanya pasti ketagihan lagi dan lagi. Membaca bukanlah perkara mudah. Membaca itu ibarat salat. Jika hanya membaca tanpa tahu tujuannya, alur ceritanya, hubungan dengan hal-hal lain dan segala tetek-bengeknya maka membaca itu batal, tidak sah dan nonsense.

Selanjutnya tentang menulis. Bertahun-tahun setelah bangsa primitif meninggalkan tulisan gambar, potongan dan bunyi mulailah dikenal tulisan alfabetis yang kita kenal sekarang ini. Menulis adalah sejarah. Apa yang pernah terjadi biarlah menjadi masa lalu namun menulislah. Tulisan itu nantinya akan memberikan pembelajaran yang sangat berharga jika kita pernah khilaf di masa lalu. Sebaliknya, ketika dalam masa lalu kita bahagia maka tulisan itu akan menjadi sebuah perwujudan rasa syukur kita yang mendalam. Sukarno saja pernah bilang bahwa kita janganlah sampai melupakan sejarah. Dari mana kita tahu sejarah bangsa kita jika para pakar sejarah itu tidak menuliskan penemuannya dalam buku-buku yang nantinya kita baca. Bahkan Much Khoiri dalam essainya Andaikata Gajah Mada Menulis Memoar (2014) berandai-andai jika sang Maha Patih itu dapat menuliskan sejarahnya maka Indonesia akan cerdas akan pengalaman-pengalaman maha dahsyat di masa lalu. Kiranya begitulah makna penting bagi Literasi, khususnya membaca dan menulis.

Literasi sebenarnya tidak hanya mencakup ranah membaca dan menulis saja. Banyak sekali media literasi yang ada. Namun, Indonesia belum sepenuhnya kenal dengan Literasi. Hal yang paling sederhana contohnya adalah membaca. Kebiasaan membaca yang minim membuat pemuda dan pemudinya terasa tertinggal jauh di belakang. Sementara para youth dinegara bagian lain sudah melangkah jauh di depan. Di Inggris misalnya, kita akan dengan mudah menemukan pejalan kaki yang membaca sambil berjalan, makan siang di kantin, di dalam trem, bis dan sebagainya. Di Indonesia? Saya sering membaca di angkot, di halte sambil menunggu bis sepulang kerja dan ketika berjalan di trotoar. Namun apa hasilnya? Saya dianggap sok pintar, aneh dan lucu. Sungguh ironisnya budaya kita.

Akhirnya, membaca dan menulis adalah dua hal yang sangat berkaitan. Bacaan ada karena ditulis. Menulispun harus berdasar apa yang dibaca. Membaca adalah perintah Tuhan. Menulis adalah investasi hidup kita di masa akan datang. Membacalah sejauh matamu memandang. Menulislah sejauh tanganmu mampu menggapai. Pada saatnya, keniscayaan itu akan ada. Pasti.

Nay

Gresik, 18 Nopember 2014

23:05

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun