Mohon tunggu...
Nayla shamara Indriani
Nayla shamara Indriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

saya memiliki hobi mendengarkan musik, jalan-jalan. saya bisa dibilang anak yang extrovert, tapi kalau social energy saya sudah habis, saya bisa diam berhari-hari.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Siapa Bilang Jadi Anak Terakhir Enak?

22 Desember 2024   23:14 Diperbarui: 23 Desember 2024   00:06 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak Masudik saat Mengisi Workshop (Sumber: Nayla Shamara)

Bagaimana seorang anak terakhir dari keluarga yang kurang mampu bisa membuat kehidupan yang awalnya hidup serba kekurangan, menjadi kesuksesan? Inilah kisah Pak Masudik, menjadi anak terakhir yang sering banyak orang bilang "jadi anak terakhir itu enak, selalu disayang, selalu dimanja", ungkap banyak orang. tapi nyatanya menjadi anak terakhir, tidak membuat Pak Masudik merasakan apa yang kebanyakan orang itu bilang. Hidup serba kekurangan, bisa makan hari ini saja sudah bersyukur. Tapi nyatanya, Pak Masudik bisa merubah jalan hidupnya.

Selepas menamatkan pendidikannya di Sekolah Menengah Pertama (SMP), Pak Masudik memutuskan untuk memulai perjalanan hidupnya sebagai anak rantau di Ibu Kota, meski tak kenal seorangpun. "Banyak sekali yang bilang kalau jadi anak terakhir itu enak, tapi bagi saya itu tidak. karena saya harus berjuang sendiri untuk merubah hidup saya dan keluarga saya nantinya", ucap Pak Masudik. Masuk ke sekolah kesehatan menjadi pilihan Pak Masudik, bermodal uang dari sang paman. Pak Masudik menjelaskan bahwa itu satu-satunya langkah yang bisa ia ambil pada saat itu, karena tidak tahu akan kemana selain itu. 

Belajar dengan penuh semangat, tidak peduli dengan kondisi apapun, merupakan salah satu cara untuk bertahan dan berjuang, pada saat itu. "Tidak semudah yang saya bayangkan, up and down saya rasakan saat saya bersekolah disana", kata Pak Masudik. Sampai akhirnya Pak Masudik menyelesaikan pendidikannya, dan memulai semuanya dengan menjadi seorang supir ambulance di salah satu perusahaan ternama pada masa itu. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, hingga tahun demi tahun, beliau setia dengan pekerjaan pertamanya itu. banyak pelajaran yang bisa diambil kala itu, suka duka, mencoba semua hal baru yang belum pernah dicoba sebelumnya, ungkapnya. Sampai pada akhirnya beliau memutuskan untuk resign dan memulai kehidupan yang baru.

Pak Masudik menyatakan bahwa kalau ia terus-terusan berada di zona nyaman, kapan ia akan suksesnya?. Maka dari itu, dengan bermodal tekad keyakinan dan pengalaman, Pak Masudik akhirnya memutuskan untuk bekerja di salah satu perusahaan temannya. Perlahan demi perlahan kehidupan Pak Masudik semakin hari, semakin berubah dan bisa dinyatakan bahwa beliau berhasil di kota rantaunnya dan berhasil pula merubah kehidupan beliau dan keluarganya.

Walaupun pada saat itu kehidupan Pak Masudik dan keluarga sudah berkecukupan, tetapi itu tidak membuat Pak Masudik merasa puas. Beliau tetap ingin mencoba semua hal yang belum ia coba dan keluar lagi dari zona nyamannya kala itu, sampai akhirnya beliau memutuskan untuk resign lagi dari perusahannya pada saat itu. Memulai semua dari nol, bermodal keyakinan dan doa, perusahaan yang beliau dirikan bersama dengan rekannya pada tahun 2013, secara perlahan tapi pasti akhirnya mengalami peningkatan peminat hingga saat ini. "Naik turunnya pasti ada ya buat wiraswata kaya saya. Jalanin aja, namanya juga usaha, tidak akan menghianati hasil kalau kita memang bersungguh-sungguh menjalaninya", ungkap Pak Masudik.

Kisah Pak Masudik bukan hanya sekedar cerita kesuksesan seorang anak terakhir, tetapi juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang. "Ini merupakan impian saya sejak dulu, yang awalnya hidup tidak jelas mau kemana, sampai akhirnya saya bisa membuktikan kalau saya bisa merubah kehidupan saya dan keluarga saya menjadi jauh lebih baik" ungkapnya. Pak Masudik juga menjelaskan, walaupun banyak yang bilang menjadi anak terakhir itu enak. Nyatanya tidak untuk saya, tetapi saya tetap bersyukur menjadi anak terahir di keluarga saya dan bisa merubah kehidupan saya dan keluarga, menyekolahkan anak-anak saya hingga sarjana, memenuhi semua keinginan anak dan isrti saya, membuat keluarga saya tersebut, itu sudah membuat saya bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun