Kesalahan Persepsi dan Teori Public Sphere
Fenomena ini secara tidak langsung menciptakan kesalahan persepsi yang berujung pada pembohongan publik. Kesalahan persepsi disini datang dari orang awam yang tidak begitu mengerti tentang seni, mereka yang melihat karya artificial intellegence ini menjadi berfikir "ini adalah karya yang bagus" tanpa tahu bahwa karya tersebut bukanlah buatan manusia. Seniman pemula yang ingin belajar gaya menggambar yang serupa jadi jatuh dalam perangkap ini juga. Orisinalitas karya seni menjadi pertanyaan juga disini, etiskah apabila seseorang yang hanya menggunakan mesin penghasil gambar pada AI mengaku mereka adalah seorang seniman, sedangkan artificial intellegence sendiri dalam menghasilkan gambar menggunakan data yang ada di internet dan merupakan sekumpulan gaya dari seniman lainnya.
Fenomena ini juga menimbulkan teori komunikasi public sphere dimana perdebatan di internet dibagi menjadi dua kubu dan apabila diperhatikan tidak ada kelompok yang dominan disini, masing-masing kubu memiliki pendukung yang sama besarnya. Menjadi pertanyaan mengapa masih ada seseorang yang berpihak pada kubu pro AI. Mereka berpikir inilah masa depan, sama seperti saat komputer pertama kali diciptakan, orang-orang merasa aneh karena tidak seperti mesin ketik yang menghasilkan tulisan dalam bentuk fisik, dalam komputer hanya berbentuk data-data dan sama seperti banyak pekerjaan kasar yang kini mulai tergantikan oleh mesin-mesin. Hal tersebut tentu terdengar menyeramkan, apakah pekerjaan seorang seniman akan tergantikan oleh suatu mesin penghasil data? Apakah di masa depan karya seni hanya sebuah gambar yang dihasilkan suatu mesin tanpa arti yang bermakna?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu bagai benang kusut yang tak berujung, semua pertanyaan yang telah terjawab akan menghasilkan pertanyaan lain. Artificial intellegence merupakan mesin yang sudah dilatih untuk menciptakan sesuatu berdasarkan data yang telah ada, maka dapat diambil kesimpulan bahwa gambar yang dihasilkan artificial intellegence merupakan sekumpulan plagiarisme dari karya orang lain. Lalu, apa yang membedakan seseorang ketika menggambar dengan meniru gaya gambar orang lain? Jika meniru secara menyeluruh dan tanpa memberikan kredit, hal itu disebut plagiarisme juga. Tetapi, jika seseorang hanya meniru sebagian dan tetap memberikan kredit kepada seniman yang menjadi inspirasinya tentu akan menjadi cerita yang berbeda. Sebenarnya sah saja memanfaatkan artificial Intellgence dalam membuat karya, seperti mencari teknik terbaik dalam menggambar sesuatu. Dalam konteks ini, AI hanya sebagai alat pembantu dan penciptaan karyanya tetap dilakukan oleh manusia. Namun yang menjadi perdebatan, banyak orang yang sepenuhnya menggunakan AI untuk membuat karya kemudian mengunggahnya di Internet dan mengklaim bahwa itu karya mereka yang sah.
Jujur adalah hal yang utama dalam segala kegiatan. Apabila seseorang mengklaim karya yang bukan hasil dari jerih payahnya sendiri tentu bukan sebuah kejujuran. Perkembangan teknologi nampak makin hari makin terus berkembang dan hal tersebut tak dapat dihindarkan, namun hal itu kembali lagi kepada kita sebagai pengguna, apakah kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut dengan sebaik-baiknya. Artificial Intellegence harusnya hanya menjadi alat untuk membantu kita dalam melakukan sesuatu, bukan malah menjadi pengganti pekerjaan kita. Jadi, marilah manfaatkan teknologi artificial intellegence dengan sebaik-baiknya dan jangan membuat "karya" seni hanya dengan mesin penghasil gambar AI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H