Mohon tunggu...
Nayla Andini Ramadhan
Nayla Andini Ramadhan Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa S1 Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Peran Empati dan Resiliensi dalam Profesionalisme Keperawatan: Solusi untuk Mengatasi Burnout dan Meningkatkan Kualitas Pelayanan

30 Desember 2024   13:42 Diperbarui: 30 Desember 2024   13:42 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Abstrak:

Perawat sering menghadapi tantangan fisik dan emosional yang dapat menyebabkan burnout, yaitu kondisi yang ditandai oleh kelelahan emosional, sikap sinis terhadap pekerjaan, dan penurunan rasa pencapaian diri karena tekanan kerja yang terus-menerus, kondisi ini membahayakan kesejahteraan perawat dan kualitas pelayanan kesehatan. Kemampuan untuk mengatasi tekanan dan menjaga profesionalisme sangat penting, serta kemampuan untuk bertindak empati. Terbukti bahwa perawat dapat mengelola stres dengan lebih baik, merasa lebih baik, dan memberikan layanan kesehatan yang baik kepada pasien mereka dengan mengembangkan kecerdasan emosional dan penguatan empati diri.

Kata Kunci: Burnout, perawat, resiliensi, empati, profesionalisme, kecerdasan emosional, kualitas layanan kesehatan.

Profesi keperawatan memegang peranan penting dalam sistem pelayanan kesehatan dan menghadapi tantangan yang rumit yang membutuhkan ketahanan mental profesional dan dedikasi yang luar biasa (Maslach & Leiter, 2022). Perawat harus menggunakan keterampilan profesional dan empati yang mendalam dalam situasi yang mereka hadapi setiap hari, baik dalam merawat pasien yang kritis maupun memberikan dukungan emosional kepada keluarga pasien. Burnout yang berdampak besar pada kualitas layanan kesehatan yang diberikan, dapat disebabkan oleh beban kerja yang berat, tekanan psikologis, dan tuntutan profesional yang terus-menerus (Kim & Park, 2023). 

Perawat sering menghadapi masalah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab mereka secara optimal. Pekerjaan yang berat dan tuntutan untuk selalu memberikan layanan terbaik sering menyebabkan kelelahan mental dan emosional. Kondisi ini menunjukkan betapa sulitnya menjadi perawat karena beban kerja yang berat dan tuntutan profesional yang terus-menerus. Dampaknya sangat signifikan terhadap kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan (Prestiana & Purbandini, 2012). Burnout bukan sekadar kelelahan fisik tetapi juga kondisi yang lebih rumit yang melibatkan kehilangan energi emosional, kehilangan identitas diri, dan penurunan tingkat pencapaian seseorang. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan mental perawat secara keseluruhan, tetapi juga dapat menurunkan kualitas perawatan yang diberikan kepada pasien. Oleh karena itu, memahami dan mengatasi stres menjadi penting untuk mempertahankan profesionalisme dan kualitas layanan kesehatan.

Burnout merupakan suatu bentuk kelelahan kerja yang dialami seseorang baik secara fisik, emosional atau mental. Burnout merupakan kondisi psikologis yang disebabkan oleh respons terus menerus terhadap stressor interpersonal di tempat kerja (Christina Maslach & Leiter, 2016). Penelitian didasarkan pada aspek-aspek yang dikemukakan Maslach dan Leiter (2016), burnout merupakan kondisi yang berdampak pada kesehatan fisik, mental, dan emosional seseorang. Kondisi ini memiliki tiga dimensi utama, yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan rendahnya prestasi pribadi. Kelelahan emosional ditandai dengan kehilangan energi, motivasi, dan penurunan kemampuan untuk mencapai hasil optimal karena tekanan kerja yang tinggi. Depersonalisasi ditandai dengan sikap sinis, pelepasan emosional, dan kurangnya keterlibatan terhadap tujuan pribadi. Ketiga aspek ini menunjukkan bahwa burnout berdampak besar pada profesionalisme dan produktivitas kerja.

Penelitian telah menunjukkan bahwa resiliensi memainkan peran penting dalam mengurangi dampak stres yang disebabkan oleh stres kerja pada perawat yang mengalami kelelahan. Resiliensi berfungsi sebagai mediator antara stres kerja dan kelelahan, seperti yang ditemukan oleh (Cha et al., 2022), tingkat resiliensi yang tinggi dapat mengurangi risiko kelelahan meskipun menghadapi tekanan kerja. Di sisi lain, ketika tingkat resiliensi rendah dan stres kerja tinggi, burnout cenderung meningkat. Pengembangan resiliensi dianggap penting untuk membantu perawat menghadapi tekanan kerja yang signifikan dan mempertahankan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, strategi untuk meningkatkan resiliensi disarankan sebagai metode yang efektif untuk mengurangi kelelahan (Ryu et al., 2021).

Resiliensi dalam keperawatan sangat penting sebagai pelindung dari stres kerja dan juga merupakan komponen penting dalam menjaga keseimbangan mental, fisik, dan kesejahteraan secara keseluruhan. Resiliensi juga dianggap sebagai keterampilan penting yang memungkinkan perawat tetap produktif, mengatasi tekanan kerja, dan menjalankan tugas profesionalnya dengan baik dalam keadaan sulit (Young & Rushton, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh (Basith & Santi, 2020) menemukan adanya hubungan negatif antara berpikir positif dan stres pada tenaga kesehatan. Temuan ini sejalan dengan aspek resiliensi, dimana orang dapat mencapai tujuannya dengan menerima masalah secara positif. Sebaliknya, stres dapat muncul jika seseorang menghadapi kesulitan untuk menerima dan mengatasi masalah yang dihadapinya.

Resiliensi yang baik memungkinkan seseorang untuk pulih dari trauma yang dialami. Selain itu, individu dapat belajar dari kesalahan dan menemukan pelajaran yang berguna untuk kehidupan di masa depan (Rasmita et al., 2021). Perawat membutuhkan resiliensi untuk memiliki sikap optimis dan positif dalam menghadapi berbagai peristiwa. Sikap tersebut membantu beradaptasi dengan tekanan yang muncul saat melakukan tugas keperawatan mereka. Individu yang memiliki tingkat resiliensi yang tinggi dan mampu menerapkan pola pikir positif cenderung mengalami lebih sedikit gejala kecemasan dan stres.

Self-compassion berperan penting dalam meningkatkan resiliensi tenaga kesehatan. Individu yang memiliki welas diri yang baik lebih mampu mengelola emosi negatif dan stres, sehingga dapat tetap menunjukkan empati dan perhatian kepada pasien dalam situasi penuh tekanan (Rahayu et al., 2022). Selain itu, kecerdasan emosional juga membantu tenaga kesehatan mengelola emosi, membangun hubungan empati yang kuat, dan mendukung adaptasi pekerja terhadap tekanan. Penguatan kemampuan kedua ini sangat penting untuk mempertahankan profesionalisme dalam pelayanan kesehatan (Yilmaz, 2023).

Kesehatan tenaga kesehatan dan kualitas pelayanan pasien dapat terpengaruh negatif oleh pekerja keperawatan yang mengalami burnout. Keterampilan resiliensi yang kuat diperlukan oleh tenaga kesehatan untuk mengatasi tekanan dan tantangan ini. Keterampilan resiliensi memungkinkan tetap produktif, mengelola emosi dengan baik, dan tetap berempati dengan pasien bahkan dalam keadaan yang penuh tekanan. Untuk mempertahankan profesionalisme dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan, dukungan dan pelatihan yang berfokus pada kecerdasan emosional, resiliensi, dan empati diri sangat penting. Strategi ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan tenaga kesehatan, tetapi juga meningkatkan pengalaman pasien dan mengurangi risiko kelelahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun