Dapat disimpulkan dari tiap sejarah yang telah tertulis, pada dasarnya semua manusia sepakat bahwa perempuan dan laki laki berbeda. Namun, kita tidak membahas mengenai perbedaan fisik yang tampak diantara keduanya, gender lebih menekankan dalam perbedaan peranan dan fungsi yang dibuat oleh masyarakat. Perbedaan antara laki laki dan perempuan kerap menjadi acuan dalam klasifikasi peran serta tanggung jawab. Peran perempuan sering kali berada pada peran domestik, seperti memasak dan melakukan pekerjaan rumah dan laki laki berada pada peran publik. Dari sinilah semuanya berawal, pembagian peran ini menimbulkan pola pikir bahwa laki laki lebih diutamakan dalam memegang peran sebagai pemimpin daripada perempuan.
Pembahasan mengenai pemimpin yang memenuhi syarat kepemimpinan merupakan topik yang tidak berujung. Apalagi jika seorang pemimpin tersebut merupakan seorang perempuan. Ide bahwa politik bukan wilayah bagi perempuan adalah ide yang selalu didengungkan selama ini dan ternyata ide itu memang sangat efektif untuk membatasi perempuan untuk tidak memasuki wilayah Terminologi publik dan privat.
Kepemimpinan perempuan pada posisi eksekutif dan legislatif menjadi fenomena penting di Aceh, karena jumlah keterlibatan perempuan dalam setiap aktivitas publik atau politik belum signifikan sampai saat ini.Data dari Badan Kepegawaian dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia menunjukkan bahwa pada wilayah kerja di Kota Banda Aceh masih minim peningkatan kepemimpinan serta ketenagakerjaan perempuan. Data pemimpin pada pemerintahan Kota Banda Aceh di tahun 2015 menyebutkan hanya terdapat lima dari empat puluh instansi yang diketuai atau dikepalai oleh seorang perempuan, sedangkan selebihnya dikepalai oleh laki-laki. Setelah pergantian pimpinan sejak awal 2017 juga diketahui tidak terdapat penambahan dari jumlah pimpinan perempuan dalam pemerintahan. Hasil temuan riset yang dilakukan Puskapol FISIP UI juga turut menjabarkan rendahnya presentasi keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu. Pada periode 2013- 2018 diketahui hanya terdapat 5 anggota perempuan dari total 17 anggota Bawaslu di 6 Provinsi (Aceh, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat). Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi perempuan dalam lembaga penyelenggara Pemilu masih belum memenuhi ketentuan pemenuhan kuota 30% yang diatur dalam UU No. 22 Tahun 2007.
Ibu Faizah, S.P merupakan perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua pada Kantor Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Aceh. Ibu Faizah menyampaikan bahwasannya masih terdapat kompleksitas permasalahan dalam proses beliau menjalankan kepemimpinannya. Beberapa hambatannya dilihat dari segi sosial kultural, budaya stereotipe, resiko intimidasi dan konflik, hambatan psikologis, dan lainnya. Dalam lingkungan kerja pada Kantor Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Aceh diketahui juga kerap terjadi diskriminasi gender terhadap perempuan yang disebabkan oleh anggapan bahwa perempuan tidak mampu menjalankan posisi strategis dalam jabatan publik dan dianggap memiliki sifat yang emosional. Diskriminasi tersebut juga pernah terjadi dalam proses pengambilan keputusan yang menimbulkan dinamisasi atau konflik.Pada saat dilaksanakannya forum evaluasi Pemilu, terdapat banyak aduan dari anggota pengawas Pemilu perempuan yang mengalami kekerasan verbal.
Dalam menghadapi stereotipe, beliau memiliki startegi secara kelembagaan yang dituangkan melaui program-program kerjanya dalam pengupayaan peka gender di lingkungan kerja Bawaslu Aceh seperti webinar, pelatihan, dan lain sebagainya. Program-program ini juga turut serta mewajibkan keterlibatan laki-laki. Selain itu, terdapat pula program kerja Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) Aceh yang turut serta melibatkan partisipasi masyarakat yang umumnya berjenis kelamin perempuan untuk dapat memotivasi dan meningkatkan peran perempuan dalam ruang publik. Dalam pengambilan keputusan beliau juga berusaha untuk meningkatkan keikutsertaan bawahannya Beliau cenderung bersifat lebih fleksibel, penuh pertimbangan membantu bawahannya, dan aktif dalam memotivasi bawahannya.Tipe kepemimpinan yang digunakan oleh beliau ialah gaya kepemimpinan demokratis dengan kepemimpinan yang diterapkan oleh berorientasi mementingkan hubungan kerja sama. Ibu Faizah pada kantor tersebut memiliki kemampuan dalam memimpin dengan sifat lemah lembut, memotivasi, mengutamakan komunikasi dan juga partisipasi serta memiliki jiwa keibuan yang membuat timbulnya rasa kekeluargaan pada wilayah lingkungan kerja Bawaslu Aceh.
Peningkatan keikutseraan atau kepemimpinan perempuan di Aceh harus ditingkatkan dengan sungguh-sungguh agar dapat menegakkan keadilan perspektif gender sehingga tidak ada lagi kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Daripada terus memperhitungkan mengenai gender dalam memilih pemimpin,namun dengan berfokus pada kemampuan ,potensi dan kualitas tiap individu, publik dapat mendapatkan pemimpin yang lebih unggul dan inklusif. Upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan memberikan pemahaman secara sistematis dan konsisten baik dilingkungan keluarga, lembaga pemerintahan, masyarakat dan pemerintah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H