Mohon tunggu...
Nayla Putri Aisyah
Nayla Putri Aisyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Universitas Airlangga

Saya menulis untuk keperluan penugasan mata kuliah wajib umum di Universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fenomena Inses, Benarkah Pernah Terjadi pada Masa Nabi Adam Alaihissalam?

5 Juni 2023   22:08 Diperbarui: 5 Juni 2023   22:31 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Tidak bisa dipungkiri inses menjadi salah satu kelainan seksual yang berpotensi menjadi tindak kejahatan di Indonesia. Inses adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan yang memiliki ikatan keluarga (kekerabatan) yang dekat, seperti hubungan ayah dengan anak perempuannya, ibu dengan anak laki-lakinya, atau antar saudara kandung dan saudara tiri. Menilik dari Data Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2022, inses menjadi salah satu jenis kekerasan yang memiliki angka yang cukup tinggi, yaitu mencapai 433 kasus dalam setahun, dan yang paling banyak melakukan inses adalah ayah kandung.

 Baru-baru ini ditemukan satu kasus inses antara ayah kandung dan anak kandung dari penemuan bayi cacat bibir yang dibuang di dalam kardus mie instan, di pinggir jalan Jalan Raya Kampung Kemayungan, Desa Sukajaya, Kecamatan Pontang, Serang, Banten. Penemuan bayi cacat bibir atau sumbing ini menjadi bukti dari salah satu dampak negatif dari hubungan seksual oleh pasangan yang memiliki hubungan pertalian darah. Dalam syariat Islam, Allah SWT dengan tegas melarang tindakan inses dalam firman-Nya Qur'an Surah an-Nisa' ayat 23 yang artinya: 

"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; 

(dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. an-Nisa':23). S. An-Nisa': 23). (1)

Dari penjelasan ayat tersebut, terdapat pengertian bahwa wanita yang haram dinikahi seorang laki-laki adalah ibu kandung, ibu tiri, anak kandung, saudara kandung, seayah atau seibu, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, anak tiri dan istri yang telah diajak hubungan intim, menantu, ipar (untuk dimadu), dan perempuan yang bersuami. Namun, pada masa Nabi Adam Alaihissalam syariat ini pernah halal dan terjadi. Sesuai yang dijelaskan pada kitab tafsir untuk Q.S. al-Maidah [5]: 27; Nabi Adam As menjodohkan Qabil dan Labuda (saudara kembar Habil) juga menjodohkan Habil dengan Iqlima (saudara kembar Qabil). 

Hal itu atas perintah Allah Swt agar Nabi Adam As segera menikahkan putra-putrinya yang sudah dewasa. Habil setuju dengan perjodohan tersebut, sedangkan Qabil menentangnya, hanya karena tidak terima saudara kembarnya hendak dinikahkan dengan Habil. Menurut Qabil, Iqlima itu lebih cantik daripada Labuda, yang saudara kembar Habil. 

Qabil merasa lebih berhak atas Iqlima, karena saudara kembarnya, tetapi menurut Allah tidak demikian. Allah SWT telah memerintahkan agar putra putri Nabi Adam dinikahkan secara silang, bukan pada saudara kembarnya. Qabil marah terhadap Habil dan menolak atas perjodohan tersebut, diceritakan dalam al-Qur'an, sehingga terjadi tragedi pembunuhan terhadap Habil.

Benar bahwa Nabi Adam As menikahkan anak kandungnya dengan anak kandungnya (saudara kandung), tapi secara silang atau berasal dari kehamilan lainnya atau tidak dengan saudara kembarnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan generasi penerus. Pada masa Nabi Adam As hukum yang menentang adanya hubungan seksual atau perkawinan dengan saudara kandung belum ada, oleh karena itu syariat ini pernah halal. Hukum yang berlaku pada masa itu adalah saudara kembar yang lahir bersamaan tidak boleh dinikahkan, dan saudara kandung yang berbeda kelahiran boleh dinikahkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun