Mentari pagi menyapa Kota medan dengan lembut, menerobos celah-celah bangunan tua di kawasan sunggal. Di sebuah kafe sederhana yang penuh dengan aroma kopi dan buku-buku tua, dua sahabat, Bagas dan Reza, tengah menikmati secangkir kopi hangat. Bagas, si anak pendiam dengan kacamata bulat yang selalu menempel di hidungnya, menunduk, matanya fokus pada secangkir kopinya. Reza, si anak ceria dengan rambut gondrong yang sedikit berantakan, menatap langit biru, pikirannya melayang.
"Gimana, Bagas? Udah siap buat ujian masuk universitas?" tanya Reza, memecah keheningan.
Bagas mengangguk pelan. "Siap, Reza. Doain aja ya."
Reza tersenyum lebar, "Tenang, Bro! Lo pasti bisa. Lo kan pinter. Gue yakin lo bakal diterima di universitas impian lo."
Bagas tersenyum tipis. "Gue juga berharap begitu, Reza. Gue pengen kuliah di jurusan arsitektur. Gue pengen membangun rumah-rumah yang indah dan nyaman untuk semua orang."
Reza mengangguk, matanya berbinar. "Gue tahu lo pasti bisa, Bagas. Lo punya bakat yang luar biasa. Lo bisa menggambar dengan indah, dan lo punya imajinasi yang luar biasa."
Bagas terdiam, matanya menatap secangkir kopinya. "Reza, lo tahu kan, gue dulu punya mimpi jadi pilot?"
Reza mengerutkan kening. "Emang kenapa? Kenapa lo gak kejar mimpi lo itu?"
Bagas menghela napas. "Gue takut, Reza. Gue takut gagal. Gue takut mengecewakan orang tua gue."
Reza menepuk bahu Bagas. "Bro, jangan takut gagal. Kegagalan itu bagian dari proses. Yang penting lo berusaha dan gak nyerah."
Bagas terdiam, matanya berkaca-kaca. "Gue takut kehilangan lo, Reza. Lo sahabat gue yang paling baik. Gue gak mau kehilangan lo karena gue mengejar mimpi gue."