Tempe merupakan makanan yang terbuat dari kacang kedelai atau beberapa bahan lain yang diproses melalui fermentasi menggunakan mikroorganisme yaitu kapang Rhizopus sp. dan Mucor sp. atau yang biasa dikenal sebagai starter atau ragi tempe. Kapang Rhizopus sp. dan Mucor sp. ini berperan memecah senyawa kompleks yang ada pada bahan baku sehingga lebih mudah dicerna. Tempe sudah lama dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jawa sebagai salah satu makanan khas tradisional Indonesia dan diproduksi secara turun temurun. Sampai saat ini, produksi tempe sudah menyebar ke seluruh dunia karena kandungan gizinya yang baik untuk kesehatan manusia, karena mempunyai daya cerna yang tinggi. Tempe merupakan makanan yang sehat, mengandung antibiotik alami, makanan dengan protein paling lengkap dan mengandung semua asam amino esensial.
Dewasa ini dengan banyaknya bahan impor yang masuk, kedelai adalah salah satu bahan impor yang  jumlah impornya tinggi, hal ini terjadi karena masyarakat Indonesia yang cenderung suka pada tempe dengan kedelai impor. Adanya aktivitas impor kedelai membuat harga kedelai lokal mengikuti harga kedelai impor yang dapat mecapai angka Rp 5.000-6.000 perkilo. Harga jual kedelai lokal dinilai sangat murah daripada harga beli kedelai impor. Hal ini membuat petani banyak beralih pada tanaman yang lebih menguntungkan. Jika ditelusuri faktanya kedelai impor yang masuk ke Indonesia adalah kedelai genetically modified organism (GMO). Kedelai genetically modified organism (GMO) adalah kedelai hasil rekayasa genetika yang telah disisipi gen tertentu untuk memperbaiki sifat-sifat yang diinginkan seperti meningkatkan resistensi terhadap herbisida, hama dan kekeringan. Ada beberapa alasan yang mungkin menjelaskan mengapa masyarakat lebih memilih tempe  dari kedelai impor daripada kedelai lokal. Pertama adalah persepsi masyarakat, terkadang orang mungkin memilih produk impor karena mereka percaya bahwa produk tersebut memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan kedelai lokal. Mereka mungkin lebih besar, lebih padat, dan memiliki rasa yang lebih kaya. Ini bisa berdampak pada tekstur dan rasa tempe yang dihasilkan. Meskipun ini tidak selalu benar, persepsi ini bisa mempengaruhi keputusan pembelian. Kedua adalah mengenai Ketersediaan Kedelai impor mungkin lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan kedelai lokal, terutama di daerah-daerah tertentu terutama di kota-kota besar dan daerah perkotaan, kedelai impor mungkin lebih mudah didapatkan dibandingkan dengan kedelai lokal. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti jaringan distribusi, permintaan pasar, dan lainnya. Hal ini bisa mempengaruhi preferensi konsumen. Ketiga adalah harga dari tempe berbahan dasar kedelai impor  genetically modified organism (GMO) lebih terjangkau daripada harga tempe dengan bahan dasar kedelai lokal. Meskipun ini mungkin berbeda-beda tergantung pada daerah, kedelai impor seringkali lebih murah dibandingkan dengan kedelai lokal. Walaupun dampak dari pengonsumsian kedelai impor dengan genetically modified organism (GMO) tidak berbahaya bagi kesehatan, namun hal ini tentu harus dapat dipertimbangkan lagi dengan jenis kedelai lokal yang bisa dikatakan lebih natural dan kualitasnya juga tidak kalah dengan tempe kualitas impor. Tempe dari hasil kedelai lokal memiliki tekstur yang lebih keras atau jamur tempe nya yang lebih sedikit tergantung dengan pengolahan penjual tempe. Namun, tempe dari kedelai lokal juga tidak kalah dengan tempe yang menggunakan kedelai impor. Mengingat bahwa masih banyak petani di Indonesia yang mengolah sawah dengan menanam kedelai selain itu kedelai merupakan plasma nutfah Indonesia yang perlu dilestarikan. Kondisi ini seharusnya dapat mengurangi kegiatan impor negara terhadap kedelai ke dalam negeri.
Upaya yang biasa dilakukan produsen selama ini masih dikatakan belum efektif. Pembuat tempe hanya menjual dan mendistribusikan tempe pada konsumen per wilayah secara monoton atau yang kerap dikenal sebagai langganan. Selanjutnya beberapa penjual tempe pada usaha industri kecil menengah belum memiliki kemampuan dalam menganalisis pangsa pasar. Produk tempe yang bisa dikatakan itu-itu saja juga merupakan faktor mengapa minat konsumsi tempe tidak mengalami peningkatan. Kualitas tempe juga mempengaruhi minat konsumen sehingga pembuat tempe seharusnya selalu mengontrol kualitas tempe masing-masing. Walaupun sudah dapat dijumpai beberapa produk makanan berbahan dasar tempe, namun kerap saja ditemukan bahan baku kedelai impor dengan alasan perhitungan laba dan rugi. Â
Upaya-upaya yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan penggunaan kedelai lokal sebagai bahan baku tempe dapat dengan cara mengedukasi konsumen terhadap keunggulan kedelai lokal terhadap kedelai genetically modified organism (GMO) selain kepada konsumen petani juga perlu untuk diedukasi, hal ini dikarenakan dengan meningkatnya pemahaman konsumen terhadap keunggulan kedelai lokal dapat berimbas pada peningkatan permintaan pasar terhadap kedelai lokal dan masyarakat tidak ketergantungan dengan tempe berbahan kedelai genetically modified organism (GMO). Adapun inovasi tempe yang dapat dibuat adalah tempe dengan berbagai rasa seperti rendang, ayam dan daging yang siap diolah atau digoreng. Produksi tersebut dapat melalui Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) binaan desa, sehingga dapat menjadi ikon atau produk khas di suatu desa. .Penggunaan media jual online dapat digunakan sebagai media pemecah masalah keterbatasan kemampuan distribusi oleh produsen, dengan keuntungan dapat langsung dipromosikan pada pamflet online. Kemudian upaya yang dapat dilakukan adalah mendorong penelitian dan inovasi dalam pengembangan varietas kedelai lokal yang unggul dari segi kualitas dan hasil melalui Dinas Pertanian Kabupaten. Sehingga upaya ini dapat mendorong pembuatan tempe dengan bahan berkualitas yang didapatkan secara mudah atau lokal dengan dampak mendorong peningkatan ekonomi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H