Mohon tunggu...
Nugroho Dewayanto
Nugroho Dewayanto Mohon Tunggu... profesional -

Lahir dan besar di Yogyakarta tigapuluhan tahun silam. Memilih nama pena Nayantaka karena mengagumi tokoh Ki Lurah Semar Bodronoyo dalam kisah pewayangan. Saat ini sedang menempuh studi lanjut di bidang Teknik Kimia di sebuah universitas di negeri jiran. Beberapa tulisan di sini adalah repost dari artikel yang pernah dipublish di blog-blog pribadi terdahulu.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kuntul Baris

30 November 2009   08:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:08 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_31437" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi burung kuntul (mediaindonesia.com)"][/caption] Setelah sekian lama terbengkelai akibat tragedi Kang Basiyo, rencana untuk melebarkan jalan di sekitar pasetran gandamayit kembali mengemuka. Hal ini dipicu oleh keresahan para warga pengguna jalan setapak itu yang merasa tidak nyaman dengan keharusan untuk menempuh perjalanan memutar menghindari kewingitan kawasan pasetran gandamayit. Maka para tetua kampung pun berembug, dan akhirnya mengambil keputusan secara bulat, golong gilig, pasetran gandamayit harus direhabilitasi. Harus dipulihkan kondisinya. Jangan sampai kewingitan tempat itu mengganggu roda perekonomian, ngrusuhi para remaja yang sedang sengkut ngudi kawruh. Targetnya, pasetran gandamayit tidak lagi menjadi tempat di mana sato moro sato mati, jalmo moro keplayu. Beberapa langkah yang akan dilakukan oleh para warga adalah menebang pohon jangkang yang mungkin usianya lebih tua dari umur mbah canggahku, melebarkan jalan setapak sehingga bisa dilewati dengan leluasa oleh kafilah bakul sengek, dan para blantik wedhus dapat berpapasan dengan leluasa dengan bu tani yang nuntun sepeda memboncengkan krombong berisi panenan yang hendak dijual ke pasar Sentolo. Penggantian wot glugu dengan sesek bambu selebar satu setengah meter juga menjadi program prioritas dalam rencana strategis revitalisasi pasetran gandamayit. Pelaksanaan program akan dilakukan Nga’at Kliwon mendatang, dengan mengerahkan seluruh potensi yang ada di kampung. Seluruh warga laki-laki yang sudah tetak, sebagai tanda kedewasaan, wajib hadir, dengan membawa peralatan yang dimiliki. Parang, arit, pacul, sekop, linggis, tenggok dan sebagainya. Anak-anak yang ingin berperan serta, diberi jatah untuk nyunggi pasir dari pinggir kali ke sekitar lokasi, dengan syarat tak boleh ngisruh dan ngribeti. Ibu-ibu, mbokdhe-mbokdhe, para perawan kencur maupun jahe, wajib berkumpul di dapur umum darurat di halaman belakang rumah Pakdhe Karyo Dubruk, untuk mendukung logistik bagi para lelaki. Soal dana, beruntung Ki Lurah Donowilopo yang beberapa waktu baru saja terpilih sebagai lurah desa, sanggup menyumbang seratus ribu untuk pembelian semen dan bahan-bahan yang diperlukan. Untuk batu putih, Kang Bandros merelakan tanah tegalannya digali untuk diambil batu putihnya. Sebenarnya dia juga berkepentingan, dengan terambilnya lapisan watu putih, dia bisa lebih leluasa menggarap tegalannya, tidak melulu ditanami telo puhung sepanjang tahun. Pasir, kerikil dan batu hitam, Progo telah menyediakannya dalam jumlah tak terbatas. Bambu untuk sesek, dan untuk keperluan lain, cukup ditebang di perbatasan kuburan di atas pasetran gondomayit. Maka siaplah semuanya untuk dilaksanakan. Seminggu sebelum pelaksanaan gugur gunung, terlebih dahulu para tetua, dipimpin oleh kaum rois Mbah Duladi memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa, meminta perlindungan dan keselamatan dalam mengerjakan tugas berat ini. Sementara itu, di lokasi, para penganut aliran kebatinan, yang dipandegani oleh Mbah Atmopawiro melakukan ritual khusus bersih-bersih di sekitar pasetran gandamayit. Asap kemenyan, ingkung pitik cemani, kembang pitung warna, degan ijo dan kembar mayang tampak dipajang di sela-sela akar pohon jangkang yang menjulur. Walapun, menurutku, bukannya menambah padhang, justru semakin mebuat pasetran gandamayit singup. Tapi itulah kepercayaan mereka, dan kami di kampung terbiasa bersanding dengan damai, tanpa saling mengganggu dan mempengaruhi. Nga’at Kliwon, selepas subuh. Sinar matahari mulai terbit. Kang Sukro berjalan menuju pos ronda di ujung jalan kampung. Masih tercecer beberapa lembar kartu ceki, sisa semalam para pemuda kampung lek-lekan menjaga keamanan desa. Dengan sekuat tenaga, Kang Sukro memukul kentongan yang terbuat dari akar pohon bambu dengan nada doro muluk. Menandakan bahwa para warga sudah dinantikan kedatangannya untuk cancut tali wondo, ngayah-ayahi kewajiban yang telah mereka sepakati. Gugur gunung mengubah wajah pasetran gandamayit. Segera saja suara kentongan Kang Sukro dibalas oleh bunyi serupa dari cakruk lainnya. Tak lupa Mbah Jayadi ikut-ikutan latah membunyikan beduk masjid di tengah desa. Jadilah pagi itu kampung kami sangat sibuk. Seperti hendak berangkat ke padang kurusetra. Pacul, gobang, bendho, arit, linggis telah ditenteng di tangan. Semuanya mengarah kepada satu titik. Pasetran gandamayit. Anak-anak nggendong dan nyunggi tenggok sarangan, ada juga yang nyangking cemong bekas cat, untuk nglangsir pasir dari tepi Progo ke setapak di sekitar pasetran. Ibu-ibu, mbok rondho, dan para perawan kunir asem, ngemban wakul, ngindhit klenthing, menuju rumah Pakdhe Karyo. tak ada satu warga pun yang ketinggalan. Semua satu arah, satu tujuan. Rakyat bersatu, dhemitpun dikalahkan. Meneguhkan niat, menguatkan raga, serta membarakan semangat, para pemuda-pemudi rengeng-rengeng tembangan: Ayo konco ngayahi karyaning projo kene, kene, gugur gunung tandang gawe sayuk-sayuk rukun bebarengan ro kancane lilo lan legowo kanggo mulyaning negoro Siji, loro, telu, papat, mlaku papat-papat diulang ulungake mesti enggal rampunge holopis kuntul baris, holopis kuntul baris, holopis kuntul baris, holopis kuntul baris …. Catatan: wingit = angker; golong gilit = mufakat; ngrusuhi = mengganggu; sengkut = tekun; ngudi kawruh = menuntut ilmu; sato moro sato mati jalmo moro keplayu = hewan datang pun mati manusai datang pasti tunggang langgang canggah = di atas buyut; bakul = penjual; sengek = makanan tradisional dari tembe benguk; blantik wedhus = pedagang kambing; krombong = keranjang besar yang diletakkan di boncengan sepeda; wot glugu = titian dari pohon kelapa; sesek = jembatan; Nga’at = Ahad, Minggu; arit = sabit; pacul = cangkul; tenggok = keranjang bambu; nyunggi = memanggul diatas kepala; ngisruh = membuat keributan; ngribeti = mengganggu telo puhung = ubi kayu; gugur gunung = gotong royong; kaum rois = pemimpin agama Islam; dipandegani = dipimpin; ingkung = ayam dimasak utuh; pitik cemani = ayam hitam; pitung warna = tujuh macam; padhang = terang; singup = angker kartu ceki = kartu cina; lek-lekan = begadang; doro muluk = salah satu nada pukulan kentongan,menandakan aman; cancut tali wondo = menyingsingkan lengan baju; ngayah-ayahi = menjalankan kewajiban; cemong = kaleng; ngalngsir = memindahkan sdikit demi sedikit; ngemban wakul = menggendong bakul; ngindhit klenthing = menggendong tempayan ai

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun