Mohon tunggu...
Nadia Nayaka
Nadia Nayaka Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

2024

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menanamkan Nilai Baik: Pentingnya Pendidikan Karakter di Era Modern

4 Januari 2025   06:27 Diperbarui: 4 Januari 2025   06:26 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

"Dek, di sekolah yang baik ya, jangan nakal," adalah kalimat yang selalu diucapkan oleh Ibu saya setiap kali mengantar saya ke sekolah. Saya hanya mengangguk, sambil bertanya-tanya dalam hati, "Apakah Ibu dari teman-teman saya juga mengingatkan anak mereka setiap hari seperti ini?" Pertanyaan itu terus terlintas di pikiran saya sejak kecil, karena faktanya, masih banyak anak di luar sana yang perilakunya tidak elok.

Saat masih SD, saya pernah melihat seorang teman dipukul oleh temannya yang lain hanya karena berebut mainan. Guru memanggil Ibu dari anak yang memukul, dan jawaban yang keluar dari mulutnya adalah, "Maklum, masih anak kecil." Mendengar itu, saya berpikir, "Lah, saya juga anak kecil, kok?" Saat saya sudah SMA, ternyata hal seperti ini masih saja terjadi. Mungkins sekarang bukan lagi berebut mainan, tetapi persoalan lain seperti saling mengejek, menggossip, atau bahkan membully teman berkedok bergurau. Perkelahian yang lebih serius hingga bermain fisik pun sering terjadi. Melihat hal tersebut, apakah perilaku buruk seperti ini harus terus-menerus dimaklumi hanya karena alasan "masih anak kecil"? Pada titik apa sebuah tindakan yang salah harus dianggap tidak pantas, terlepas dari usia pelakunya?

Ketika saya melihat kasus nyata semacam ini, saya kembali teringat nasihat sederhana yang selalu diberikan oleh Ibu setiap pagi: "Dek, di sekolah yang baik ya, jangan nakal." Nasihat tersebut telah membangun karakter saya selama menjadi siswa di sekolahan, namun tentu tidak semua orang tua memberi nasihat yang sama. Bagaimana jika semua anak mendapatkan pengingat seperti itu dari orang tua mereka? Apakah angka perkelahian atau tawuran di sekolah bisa ditekan? Tentu hal tersebut di luar kendali orang tua, banyak orang tua yang sudah menasihati, namun masih ada anak yang melanggar. Perilaku mereka di luar rumah seringkali dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti lingkungan pertemanan, tekanan sosial, atau bahkan media yang mereka konsumsi sehari-hari. Pada akhirnya, masalah ini menjadi tanggung jawab bersama---tidak hanya orang tua, tetapi juga sekolah, masyarakat, dan pemerintah.

Ketika kita membahas kasus perkelahian pelajar yang sering terjadi di Indonesia, seperti yang dilaporkan di berbagai media, fenomena ini tidak lagi dapat dianggap sebagai perilaku anak-anak yang "dimaklumi." Perkelahian melibatkan tindakan kekerasan yang melanggar hukum, merugikan diri sendiri, orang lain, bahkan bisa menghilangkan nyawa. Contohnya, kasus perkelahian di Jakarta pada 2024 di suatu sekolah yang memiliki cukup memiliki nama. Kasus tersebut viral akibat rekaman video yang tersebar--hal tersebut juga merupakan pembullyan dalam bentuk media. Situasi seperti ini menjadi pengingat nyata bahwa "kenakalan anak" tidak dapat terus didiamkan, apalagi dianggap wajar hanya karena usia mereka.

Saya rasa, ada batas yang jelas di mana perilaku buruk anak kecil tidak bisa lagi dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Perilaku negatif, jika tidak segera diluruskan, akan terus berkembang menjadi kebiasaan buruk yang akan terbawa hingga dewasa. Tidak sedikit kasus yang menunjukkan bahwa anak-anak yang terbiasa bersikap kasar, berbohong, atau menggunakan kekerasan justru tumbuh menjadi individu yang sulit mengontrol emosi dan sering bertindak di luar batas. Memang wajar bahwa anak kecil seringkali membuat kesalahan, tetapi ada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh orang tua dan lingkungan anak--sekolah, pertemanan, pemerintah--untuk memastikan bahwa kesalahan tersebut tidak dianggap sepele oleh anak-anak kecil penerus bangsa. Jika seorang anak memukul temannya atau menggunakan kekerasan untuk mendapatkan apa yang dia mau, ini adalah momen penting untuk mengajarkan bahwa tindakan tersebut tidak benar. Bukan hanya "dimaklumi" dan dilupakan begitu saja. Toleransi yang salah tempat hanya akan memperkuat keyakinan bahwa tindakan tersebut tidak memiliki konsekuensi.

Pertanyaannya sekarang, kapan kita mulai berhenti memaklumi? Jawabannya adalah sejak anak-anak cukup memahami apa yang benar dan salah---dan hal itu tidak harus menunggu mereka dewasa. Anak-anak bisa diajarkan untuk bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatannya, hal tersebut mengajarkan dan membangun karakter mereka. Dengan begitu, mereka tidak hanya tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter baik, tetapi juga belajar menghormati hak dan perasaan orang lain. Karena setiap tindakan yang buruk, sekecil apa pun, memiliki dampak yang bisa dirasakan oleh orang lain.

Mungkin beberapa orang tidak menyadari betapa besarnya dampak sebuah nasehat pagi yang terdengar sederhana. Kata-kata seperti, "Dek, di sekolah yang baik ya, jangan nakal," mungkin terdengar sepele dan hanya rutinitas sehari-hari bagi sebagian orang tua. Namun, bagi seorang anak, nasihat kecil seperti itu dapat menjadi pengingat yang melekat di hati; seperti saya, yang selalu diingati oleh ibu setiap kali ingin keluar dari mobil untuk bersekolah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun