Mohon tunggu...
Naya Nazwa Haliza
Naya Nazwa Haliza Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Ruang ini sebagai perayaan kesadaran, kawah candradimuka yang berorientasi pada hal hal menyenangkan, tidak beraturan dan menuntut isi isu ideal yang dicurahkan melalui pikirian. Dari sebuah resah dan empirisme yang kecil. Namun gemar untuk dibagikan

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Fasih Beretorika Tapi Bungkam Saat Menulis

3 Februari 2025   14:25 Diperbarui: 3 Februari 2025   14:25 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di era digital yang semakin bising ini, kita menyaksikan fenomena menarik di kalangan mahasiswa. Mereka begitu piawai dalam merangkai kata-kata, tampil berapi-api dalam diskusi, dan membawa gagasan yang terdengar revolusioner di berbagai panggung bebas. Dengan penuh percaya diri, mereka berdebat, mengutip referensi dari buku-buku kiri hingga literatur yang berkiblat ke Barat. Seolah, mereka adalah intelektual muda yang kritis, vokal, dan progresif.

Namun, ada ironi yang tak bisa diabaikan. Ketika diminta menuangkan gagasan mereka ke dalam tulisan, keberanian itu mendadak menguap. Diksi yang sebelumnya begitu lantang kini menghilang tanpa jejak. Mereka yang begitu gagah di atas mimbar kini terdiam di hadapan lembar kosong. 

Fenomena ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan sebuah masalah mendasar: enggan menulis adalah tanda intelektualitas yang setengah matang.

Menulis bukan sekadar keterampilan teknis, melainkan bentuk tanggung jawab intelektual. Berbicara itu mudah, kata-kata bisa melayang, terdengar sesaat, lalu hilang tanpa jejak. Namun, tulisan adalah rekam jejak berpikir yang abadi. Ia menjadi bukti seberapa dalam seseorang mengolah gagasan, seberapa jauh ia memahami suatu isu, dan seberapa kuat ia bertanggung jawab atas pemikirannya sendiri. 

Tanpa tulisan, retorika hanya menjadi gema yang nyaring tapi kehilangan makna.

Sayangnya, sudah terlalu banyak mahasiswa yang memilih jalan pintas: mereka lebih senang menjadi pengkhotbah tanpa kitab. Mereka berdiri di podium dengan penuh percaya diri, tapi tanpa kesediaan untuk mengikat pemikiran mereka dalam tulisan yang bisa diuji dan dikritisi. Retorika mereka pun sering kali kehilangan substansi, sekadar rangkaian kata-kata yang terdengar canggih namun rapuh saat ditelaah lebih dalam.

Kemalasan menulis ini berakar dari berbagai faktor. Sebagian merasa bahwa berbicara lebih fleksibel, tak terikat oleh aturan baku sebagaimana menulis yang menuntut ketelitian, logika yang runtut, dan analisis yang tajam. Sebagian lainnya terjebak dalam budaya instan, terbiasa mengonsumsi informasi dalam bentuk ringkas dan dangkal, sehingga tak terbiasa menyusun pemikiran dalam narasi yang lebih mendalam. Mereka menikmati euforia berbicara tanpa mau melewati proses berpikir yang lebih terstruktur dan sistematis.

Padahal, menulis adalah cerminan intelektualitas sejati. Gagasan yang hanya diucapkan akan mudah terlupakan, tak dapat diuji, dan tak bisa diwariskan. 

Kata-kata yang terucap mungkin menginspirasi sesaat, tetapi kata-kata yang tertulis mampu menembus ruang dan waktu, menjangkau generasi yang bahkan belum lahir. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun