Mohon tunggu...
Naya Nazwa Haliza
Naya Nazwa Haliza Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Penulis

Ruang ini sebagai perayaan kesadaran, kawah candradimuka yang berorientasi pada hal hal menyenangkan, tidak beraturan dan menuntut isi isu ideal yang dicurahkan melalui pikirian. Dari sebuah resah dan empirisme yang kecil. Namun gemar untuk dibagikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Revolusi Kampus Di Tangan Perempuan Pasca Post Patriarchy

1 Februari 2025   21:25 Diperbarui: 1 Februari 2025   21:25 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perubahan bukan sekadar tuntutan, melainkan keharusan. Kampus, sebagai ruang intelektual yang seharusnya netral terhadap gender, justru masih menyimpan sisa-sisa patriarki yang menghambat kiprah perempuan. Meski gerakan kesetaraan terus menguat, kenyataan berbicara lain: perempuan masih harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan ruang yang seharusnya sudah menjadi hak mereka.

Hari ini, kita berbicara tentang era pasca-patriarki, sebuah fase di mana dominasi gender bukan lagi norma utama. Namun, apakah benar kampus sudah sepenuhnya bertransformasi? Ataukah istilah pasca-patriarki hanyalah jargon kosong tanpa implementasi nyata? Jika benar kampus telah memasuki era ini, mengapa perempuan masih harus membuktikan dua kali lipat lebih keras dibanding laki-laki untuk mendapatkan pengakuan yang sama?

Perempuan bukan sekadar penghias statistik keterwakilan gender di kampus. Mereka adalah penggerak utama dalam revolusi intelektual yang mengguncang sistem sosial yang selama ini mengalami ketimpangan berkali-kali lipat. Namun, sangat disayangkan masih banyak pembatasan terselubung. 

Dalam berbagai organisasi kampus, kepemimpinan perempuan kerap dipertanyakan. Seorang mahasiswa laki-laki yang vokal dianggap kritis, sementara perempuan dengan sikap serupa sering dicap "terlalu emosional." Perempuan yang mengejar karier akademik sering kali menghadapi ekspektasi ganda: menjadi cerdas dan berprestasi, tetapi tetap harus tunduk pada norma sosial yang membelenggu mereka dalam peran-peran tradisional.

Perlawanan terhadap sisa-sisa patriarki ini tidak hanya sekadar berbicara tentang kesetaraan hak, tetapi juga membongkar pola pikir yang mengakar dalam budaya akademik. Perempuan di kampus hari ini bukan hanya sekadar peserta; mereka adalah agen perubahan yang membawa gagasan, membangun diskursus, dan mendobrak batasan yang telah lama dianggap wajar dan kolot.

Jika revolusi kampus benar-benar ada di tangan perempuan, maka sistem harus berani mengakui dan mengakomodasi peran mereka secara penuh, bukan sebagai pengecualian, melainkan sebagai standar baru. 

Sebab, tanpa perempuan yang berdaya dan diakui secara setara, kampus tidak akan pernah benar-benar menjadi ruang intelektual yang adil bagi semua.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun