Organisasi bagi banyak mahasiswa, semestinya menjadi ruang pembelajaran sekaligus tempat menyalurkan ide-ide kreatif. Namun, di balik segala jargon dan visi mulia yang digadang-gadang, ada kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan. Sekarang, organisasi kerap kehilangan maknanya. Ia menjadi nama tanpa isi, sekadar formalitas tanpa kontribusi nyata bagi anggotanya.
Apa yang salah dengan organisasi kampus hari ini?Â
Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya kejelasan arah dan tujuan. Program kerja sering kali dirancang hanya untuk memenuhi tuntutan rutinitas, tanpa mempertimbangkan dampaknya pada pengembangan anggotanya.Â
Senioritas dan kaderisasi yang seharusnya menjadi sarana pembelajaran sering kali berubah menjadi ajang pembuktian kekuasaan. Alih-alih membangun rasa solidaritas, tradisi ini malah menciptakan rasa takut dan enggan berpartisipasi.Â
Dalam beberapa kasus, organisasi hanya melihat anggotanya sebagai tenaga kerja untuk memenuhi target program. Tidak ada apresiasi yang cukup, tidak ada ruang diskusi yang terbuka, dan tidak ada keinginan untuk memahami kebutuhan anggotanya. Bagaimana bisa organisasi bertahan jika orang-orang di dalamnya merasa tidak dihargai?
Organisasi dalam esensinya, bukan sekadar struktur yang dihuni oleh segelintir mahasiswa. Ia adalah rumah bagi mereka yang ingin bertumbuh, belajar dan berbagi pengalaman. Namun, di tengah kampus yang dinamis, stigma tentang organisasi kian menyebar, menciptakan jarak yang lebar antara potensi dan partisipasi mahasiswa.
Iya benar, ruang untuk berproses tidak hanya ada di organisasi. Ada banyak cara lain untuk berkembang, baik melalui komunitas, proyek independen, maupun aktivitas lainnya. Namun, ada sesuatu yang unik dari organisasi yaitu: Komunikasi intelektual yang intens dan pengalaman membangun tujuan bersama.Â
Beberapa orang memilih loyal pada organisasi karena di sanalah mereka menemukan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi diri.
Ketakutan terhadap organisasi sering kali lahir dari pengalaman buruk masa lalu. Mahasiswa yang pernah merasa tidak aman atau tidak dihargai dalam organisasi cenderung memendam trauma yang membatasi keberanian mereka untuk mencoba lagi. Akibatnya, suara mereka mengecil, kapasitas mereka terkikis dan organisasi gagal memberikan ruang berproses yang sejatinya diperlukan.
Organisasi seharusnya lebih dari sekadar tempat berkumpul. Ia adalah rumah, tempat seseorang merasa diterima, dihargaidan diberdayakan. Ketika organisasi gagal menciptakan rasa memiliki, ia tidak akan menjadi apa-apa selain nama kosong.