Feminisme sering dianggap sebagai gerakan yang inklusif, melibatkan siapa saja yang mendukung kesetaraan gender, termasuk laki-laki. Namun, partisipasi laki-laki feminis sering kali tidak terlepas dari bias atau stereotipe seksis yang mereka reproduksi tanpa disadari. Fenomena ini menciptakan sebuah paradoks: bagaimana mungkin seseorang yang mengadvokasi kesetaraan gender masih terjebak dalam pola pikir seksis yang sama dengan yang mereka lawan?
Sebagai sekutu dalam gerakan feminis, laki-laki feminis seharusnya mendukung perjuangan perempuan secara setara. Namun, dalam praktiknya, dukungan ini sering kali berubah menjadi patronisasi atau bahkan dominasi. Contoh konkret adalah ketika laki-laki feminis memosisikan diri sebagai "pahlawan" perempuan, memperkuat narasi bahwa perempuan tidak mampu memperjuangkan haknya sendiri tanpa bantuan laki-laki.
Pendekatan ini tidak hanya mengkhianati nilai-nilai feminisme, tetapi juga mengukuhkan kembali hierarki patriarkal dalam bentuk baru. Feminisme sejati, sebagaimana ditegaskan oleh bell hooks dalam Feminism Is for Everybody, bukan tentang menggantikan dominasi laki-laki dengan dominasi perempuan, melainkan menciptakan dunia tanpa hierarki gender.
Laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-100 dalam Indeks Kesenjangan Gender Global tahun 2024, turun drastis dari peringkat ke-87 pada tahun sebelumnya. Data ini menegaskan bahwa perjuangan untuk kesetaraan gender masih jauh dari selesai. Dalam konteks ini, peran laki-laki feminis seharusnya menjadi penguat gerakan, bukan penghambat dengan reproduksi bias seksis.
Salah satu kritik hooks adalah pada individu yang menggunakan feminisme sebagai alat untuk meningkatkan citra diri, alih-alih menciptakan perubahan struktural. Perilaku ini menciptakan disonansi dalam gerakan feminis, di mana laki-laki feminis lebih fokus pada bagaimana mereka terlihat daripada bagaimana mereka berkontribusi.
Feminisme bukanlah gerakan homogen. Pendekatan radikal, seperti yang sering diidentifikasi dengan perempuan anarkis, sering kali dianggap terlalu keras atau tidak sesuai oleh sebagian laki-laki feminis. Padahal, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Anarko-Feminisme dalam Perspektif Emma Goldman oleh Mukhamad Sarifudin dan Lathifah Sekar Sari, anarkisme dan feminisme berbagi tujuan yang sama: menghancurkan patriarki, kapitalisme, dan struktur negara yang menindas.
Anarkisme kerap diasosiasikan dengan kekacauan atau destruksi. Namun, secara historis, anarkisme adalah sebuah teori politik yang menolak hierarki dan berupaya menciptakan kebebasan individu yang sejati. Dalam konteks feminisme, pendekatan anarko-feminis menawarkan jalan alternatif untuk melawan patriarki yang terstruktur. Stigma negatif terhadap pendekatan ini sering kali justru berasal dari bias seksis, termasuk yang dipegang oleh laki-laki feminis.
Emma Goldman, salah satu tokoh besar dalam gerakan anarko-feminis, percaya bahwa patriarki, kapitalisme, dan negara adalah tiga pilar utama yang menindas perempuan. Dalam hal ini, laki-laki feminis perlu memahami bahwa keberagaman pendekatan dalam feminisme, termasuk yang radikal, adalah bagian penting dari gerakan kesetaraan gender yang menyeluruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H