Mohon tunggu...
Nayafakda Iswattul Khasanah
Nayafakda Iswattul Khasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kemanusiaan di Era Jokowi

29 November 2024   08:31 Diperbarui: 29 November 2024   08:41 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak dasar atau kewarganegaraan yang melekat pada individu sejak ia lahir secara kodrat yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan dicabut keberadaannya dan wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Indonesia merupakan negara yang berlandaskan atas hukum. Sehingga Negara Indonesia wajib memberi perlidungan Hak Asasi Manusia kepada setiap masyarakatnya, hal itu merupakan konsekuensi dari negara hukum. Namun, apakah sejauh ini hak asasi manusia sudah dipenuhi dengan baik oleh pemerintah bagi setiap warganya?

            Jumlah kasus pelanggaran HAM di Indonesia sangatlah banyak. Tidak hanya 12 kasus besar yang terjadi pada kisaran tahun 1965 hingga 2003. Tetapi, kasus pelanggaran HAM meliputi pemerkosaan, perundungan, pencurian, penganiayaan, dan lain sebagainya yang melanggar segala kebebasan manusia termasuk dalam kasus pelanggaran HAM. Mirisnya, kasus-kasus tersebut tak pernah lenyap dari kehidupan bernegara di Indonesia. Semakin kesini, kasus pelanggaran HAM semakin merajalela. Mulai dari pemerkosaan. Banyak sekali masa depan putri bangsa yang hancur sebab perilaku oknum yang tidak memiliki moral. Demi memuaskan nafsu, mereka tega menghancurkan kehidupan tunas bangsa. Bahkan, terkadang mereka yang masih dibawah umur pun menjadi sasaran mereka yang tidak mampu menahan nafsu bejatnya. Laporan "Statistik Kriminal 2023" yang dirilis oleh BPS menunjukkan adanya 1.443 kasus tindak kejahatan asusila pemerkosaan di Indonesia. Jumlah tersebut naik 23,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di angka 1.164 kasus. Adapun data ini didapatkan dari Kepolisian Daerah (Polda). Mirisnya lagi, banyak sekali korban atas kasus-kasus tersebut tidak melapor ke pihak berwajib. Rasa takut korban lebih besar ketika harus menghadapi sanksi sosial yang akan dihadapi jika masalah ini diketahui orang sekitar daripada rasa berani untuk memperjuangkan hak perlindungan yang seharusnya diterimanya sebagai warga negara Indonesia. Hal ini juga mencerminkan tipisnya kepercayaan masyarakat kepada pihak berwajib. Dalam menghadapi masalah ini, Presiden Joko Widodo pada bulan Mei menyetujui sebuah peraturan pengganti undang-undang yang memungkinkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum untuk pemerkosa anak-anak.

            Tidak hanya kasus pemerkosaan, kasus perundungan dan penganiayaan juga menjadi PR besar bagi pemerintah. Perundungan sendiri adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja dan berulang-ulang untuk merendahkan, menyakiti, atau merugikan orang lain. Pasalnya, di tengah era globalisasi ini kini kasus perundungan bukan hanya terjadi secara fisik namun juga secara verbal. Ditengah pengaruh dunia maya yang makin tak terbatas ini, hal-hal yang seringkali dianggap remeh dapat menjadi bumerang untuk menghancurkan mental seseorang. Tidak sedikit kasus bunuh diri yang terjadi disebabkan oleh hancurnya mental seseorang. Tercatat banyak kasus perundungan di Indonesia masih tinggi dan terus terjadi di berbagai tempat, seperti di sekolah, perguruan tinggi, dan di luar sekolah. Menurut KPAI, dari Januari sampai Agustus 2023, ada 837 kasus perundungan di satuan pendidikan. Kasus perundungan di sekolah paling banyak terjadi di Jawa Timur, diikuti oleh Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DKI. Beberapa kasus perundungan yang tercatat pada tahun 2024 adalah korban perundungan di Binus School Simprug, siswa SD di Subang tewas, siswi SD korban perundungan di Depok, siswa berkebutuhan khusus di-bully di SMP Depok. Kasus perundungan juga terjadi di perguruan tinggi, seperti kasus dugaan perundungan yang dialami oleh mahasiswa PPDS Undip. Kasus perundungan juga terjadi di luar sekolah, seperti kasus perundungan yang dialami oleh siswa SMA Lampung yang dikeroyok seniornya di kamar mandi. Kasus perundungan yang viral di media sosial, seperti kasus perundungan terhadap siswa SMAN 4 Kota Pasuruan yang membuat korbannya masuk rumah sakit jiwa. Selebgram dari Probolinggo, Luluk Sofiatul Jannah (Luluk Nuril), telah melakukan kekerasan verbal di media sosial atau cyberbullying kepada murid SMK. Sehingga korban menjadi hilang percaya diri dan sempat berniat berhenti melakukan praktik kerja lapangan (PKL).

          Tak hanya itu, tindak pelanggaran HAM juga dapat berupa tindakan Rasisme. Rasis adalah sikap, tindakan, atau keyakinan yang mendiskriminasi, merendahkan, atau menganggap superioritas satu ras di atas ras lainnya. Rasisme sering didasarkan pada perbedaan warna kulit, etnis, budaya, atau asal-usul seseorang. Sikap ini menciptakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial karena memperlakukan individu secara tidak adil hanya berdasarkan ras atau kelompok etnis mereka. Beberapa kasus rasisme yang terjadi pada masa pemerintahan Jokowi adalah Kasus Rasisme terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya (2019). Pada Agustus 2019, mahasiswa Papua yang tinggal di asrama di Surabaya dituduh merusak bendera merah putih. Tuduhan ini menyebabkan tindakan pengepungan asrama oleh massa dan aparat keamanan. Dalam pengepungan, mahasiswa Papua mendapat perlakuan kasar, termasuk ujaran rasis seperti kata-kata "monyet." Selanjutnya diskriminasi terhadap Masyarakat Adat dan Minoritas. Banyak masyarakat adat dan minoritas, seperti masyarakat Papua, Suku Anak Dalam, dan komunitas adat lainnya, menghadapi diskriminasi terkait hak atas tanah dan akses terhadap pendidikan serta layanan publik. Lalu terjadi juga kasus rasisme terhadap Tenaga Kerja Asing di tengah arus masuk tenaga kerja asing (TKA) dari China, beberapa pihak menyebarkan narasi diskriminatif yang mengaitkan TKA China dengan isu budaya atau konspirasi politik. Hal ini menyebabkan sentimen anti-China berkembang di kalangan masyarakat. Selanjutnya yang sedang dan masih terjadi adalah rasisme dalam Media Sosial. Media sosial sering menjadi tempat penyebaran ujaran kebencian, kata-kata rasisme, dan berbagai ucapan yang tidak sepantasnya diucapkan kepada sesama seperti ujaran ejekan atau merendahkan etnis minoritas di Indonesia.

            Lalu, apa peran pemerintah dalam menangani masalah ini? Presiden Jokowi menetapkan beberapa keputusan dalam menangani hal ini, diantaranya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada periode pertama, Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Tragedi 1965, Peristiwa Talangsari, dan kasus penculikan aktivis pada 1998. Pemerintah memilih pendekatan non-yudisial melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) serta pengungkapan kebenaran. Pada 2023, Jokowi membentuk tim penyelesaian non-yudisial yang menghasilkan pengakuan pemerintah atas 12 pelanggaran HAM berat, seperti Peristiwa 1965, Petrus, dan Tragedi Mei 1998. Namun, langkah ini menuai kritik karena tidak melibatkan proses hukum terhadap pelaku. Selanjutnya pengakuan atas pelanggaran HAM di Papua. Pemerintah Jokowi berusaha meningkatkan pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan di Papua. Namun, dinilai pendekatan ini lebih fokus pada pembangunan ekonomi daripada penyelesaian isu HAM. Insiden kekerasan seperti penembakan warga sipil dan berbagai tindakan kekerasan yang masih dilakukan aparat keamanan masih menjadi sorotan. Jokowi juga melanjutkan program Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) yang telah dimulai sebelumnya. RANHAM fokus pada perlindungan kelompok rentan, termasuk perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Jokowi juga menetapkan pengakuan terhadap Masyarakat Adat. Pada masa Jokowi, ada beberapa langkah untuk mengakui hak-hak masyarakat adat, seperti pengesahan hutan adat. Namun, lambatnya pengesahan RUU Masyarakat Adat menjadi kritik utama karena UU ini sangat penting untuk melindungi hak-hak masyarakat adat. Lalu Jokowi mengadakan perbaikan Kondisi di Lembaga Pemasyarakatan. Pemerintah berusaha meningkatkan kondisi lembaga pemasyarakatan untuk mengurangi pelanggaran HAM terkait overkapasitas. Namun, pelaksanaan di lapangan masih menghadapi tantangan. Dan yang terakhir, pemerintah menegakkan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Kebijakan seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus menjadi sorotan di era Jokowi karena dinilai sering digunakan untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berekspresi.

            Meskipun menetapkan banyak kebijakan yang dinilai posititf, nyatanya kebijakan tersebut dinilai belum sepenuhnya menuntaskan masalah rasisme secara efektif. Semoga kepemimpinan selanjutnya dapat dengan tegas menghapus tindak rasisme dia Indonesia kita ini. Karena tindak rasisme membunuh jiwa dan raga seseorang yang mendapakannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun