Mohon tunggu...
Ella Nurhayati
Ella Nurhayati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

“Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka”,(Abu Bakar As-Shiddiq ra)"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ahh, Betapa Bersyukurnya Aku!

20 Mei 2014   00:53 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:21 1742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanganku meraba sebuah ponsel yang tidak jauh dari tempat tidurku. Jam digital pada ponsel itu menunjukan bilangan 01.46. Tidak biasanya malam ini begitu menusuk tulang belulang. Aku mulai meronta hampir tak kuasa tuk menahannya, dan memaksaku tuk merapatkan selimut. Namun perutku sakit, setelah kupastikan ternyata aku baru saja kedatangan ‘tamu bulanan dari cibeureum’ alias ‘nyeri haid’. Penyakit ini untuk sebagian wanita sudah tidak asing lagi. Ya, nyeri yang tak tertahankan  membuat seluruh tubuh ikut menggigil dan sedikit demam. Aku bangun sejenak untuk menyalakan lampu. Kutengok suamiku masih terjaga dalam mimpinya. ‘Gantengnya suamiku kalau lagi tidur’. Ternyata nyerinya semakin menjadi-jadi, hingga menyeretku ke kamar mandi. Nyaris sembilan kali aku bulak-balik kamar mandi. Mual dan pusing membuatku ingin ‘muntah’, tapi itu gagal. Nyeri di perutku menjadi-jadi, tubuh ini menggeliat kesakitan hingga membangunkan suamiku.

“Ada apa sayang?” tanyanya dengan setengah sadar. Matanya masih mengantuk.

“Sakit mas!”

Suamiku melempar wajah kebingungan. Mungkin ia tidak pernah menghadapi wanita yang sedang nyeri haid. Ini pertama kalinya sejak kami menikah, ia menemuiku sedang nyeri haid. Aku memberikan kode agar ia memijit untuk sedikit mengurangi rasa sakitku. ‘Ya Allah, aku sudah membangunkan suamiku tidur’. Alhamdulillah, sakitnya berkurang. Lelaki berjanggut seksi itulah yang sudah meringankan rasa sakitnya. Ia adalah sosok suami yang ‘super duper te ope be ge te’. Kehadirannya selalu membawa kenyamanan. Kehangatan kasihnya percikan harapan. Kelembutannya redakan luka di jiwa.

Setelah adzan subuh berkumandang, aku kembali tidur. Tubuhku masih perlu istirahat. Lantas suamiku? Ya, pagi ini aku alpa membuatkan kopi dan sarapan untuknya. Tubuhku tak berdaya, aku sakit. Sekitar tujuh puluh menit aku tidur, rupanya tubuhku barus saja melakukan pembakaran. Buktinya deras keringat membasahi sedikit rambut dan bajuku. Ini pertanda kesehatan tubuhku meningkat. Karena hampir dua puluh empat jam aku belum mengeluarkan keringat. Suhu tubuhku tidak biasanya. Aku segera keluar dan menemui suamiku. Teringat dini hari tadi aku belum sempat ucapkan terima kasih padanya. Ternyata suamiku sedang olahraga jari (baca: ngetik) di depan ruang TV dengan laptopnya. Ia langsung menyambutku dengan hangatnya.

“Gimana istirahatnya, sayang? Nyenyak sekali tidurnya, sampe mendengkur,” tanyanya dengan sedikit melempar canda padaku.

“Makasih ya mas, maaf merepotkan mas,”

“Pagi ini tidak perlu masak dulu, sebentar lagi mas berangkat. Sayang nggak apa-apa di rumah sendiri.” Katanya sambil mengelus-elus kepalaku yang sebenarnya sudah tidak sakit lagi.

Lihatlah, begitu pengertiannya suamiku. Ditengah aku yang sedang sakit, ia tidak mau merepotkanku. Padahal jika pun aku masak, aku bisa. Kondisi kesehatanku sudah membaik. Tapi aku tidak ingin ia benar-benar tidak mencicipi masakanku hari ini. Maka kupaksakan membuatkannya ‘bekal’ untuk dibawa kerja pagi ini. Agar terkesannya ‘simple’ dan tidak memakan waktu yang lama, aku hanya membuat sebuah ‘sandwich’ dengan tiga lembar roti tawar. Isinya kutambahkan telur dadar dan sedikit saus sambal.

Setelah suamiku berangkat kerja, tinggalah aku sendiri. Sepertinya tubuhku belum bisa diajak kompromi. Kepalaku pusing, bahkan hidung ini ikut demo dengan flunya. Lengkap sudah hari ini. Kutengok sebuah laptop berstiker ‘keroppi’ di atas meja ruang tamu, ahh aku belum menulis hari ini. Gerakan menulis setiap hari yang digembar-gemborkan oleh suamiku belum bisa kutunaikan pagi ini. Mungkin nanti siang atau sore pikirku. Aku masih ingin manjakan tubuhku. Tapi apa yang terjadi, ternyata nyeri haid yang sempat menghilang datang lagi. Keberadaannya tidak aku harapkan. Ya Rabb, sakit sekali. Kuatlah aku! Untung saja sakitnya bertahan sebentar, hanya belasan menit saja. Alhasil aku kembali membaringkan tubuhku ke tempat tidur. Karena setiap nyeri haid itu datang dan pergi kembali, tubuhku lemah hilang tenaga.

Sekitar pukul satu lebih dua puluh menit suamiku pulang, ia hanya mengajar tiga jam saja. Ya, suamiku bekerja di salah satu bimbingan belajar di Kota Bogor sebagai tenaga pengajar. Seharusnya suamiku pulang nanti malam, karena sore ini ada jadwal kuliah. Tapi siang ini ia memilih pulang terlebih dahulu dan berangkat kuliah dari rumah, padahal itu menguras lebih energinya.

“Berangkat kuliahnya dari rumah aja ah, inget sayang terus soalnya. Mas khawatir,” katanya penuh kecemasan.

“Aku nggak kenapa-napa kok mas”

“I love you, sayang”

Ahh, betapa bersyukurnya aku mendapatkan suami sebaik dia.

“Love you too, mas”

-------------------------------

Senin, 19 Mei 2014

17.44

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun