Kulihat ibu pertiwi
Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang
Hutan gunung sawah lautan
Simpanan kekayaan
Kini ibu sedang susah
Merintih dan berdoa
Kulihat ibu pertiwi
Kami datang berbakti
Lihatlah putra-putrimu
Menggembirakan ibu
Ibu kami tetap cinta
Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk nusa dan bangsa
-- Sebuah Puisi --
Mengapa Ibu Pertiwi merintih dan menangis ?, padahal semua tahu bahwa Ibu Pertiwi sangatlah kaya-raya. Apakah gerangan yang menjadi sebab sehingga Ibu Pertiwi harus meratap sedih dan terus berlinang air mata, padahal sebenarnya terlihat bahwa dia hidup serba berkecukupan ?.
Kita semua adalah putra putri dari Ibu Pertiwi, termasuk aku yang mungkin bukan siapa-siapa, aku hanyalah bagian terserak dari pinggiran sebuah peradaban. Jika aku memang masih mau mengaku sebagai salah satu anak dari ibu pertiwi maka sudah saatnya aku harus mencari jawaban akan pertanyaan-pertanyaan diatas.
Aku mencoba merenungi tentang sebuah liku perjalanan pendekku pada sebuah dimensi kehidupan kecil dalam bagian peradaban negeri ini, aku coba juga memahami definisi sebuah kehidupan dalam sebuah bingkai bangsa. Sebuah kehidupan dibawah naungan kemerdekaan adalah sebuah kehidupan yang tidak gratis, karena memperjuangkan Ibu pertiwi untuk lepas dari belenggu keserakahan penjajah adalah membutuhkan literan linangan air mata dan berlumuran darah.
Saat suara adzan Subuh terdengar lantang mengumandang oleh suara serak tak begitu merdu milik seorang bapak tua renta di lingkungan tempatku tinggal karena memang para anak mudanya sibuk begadang menghabiskan malam hingga ketiduran dan lupa jika saat subuh sudah dating, begitu juga dengan aku yang masih nyenyak dalam pembaringan saat waktu subuh itu hadir. Tak perlu menyalahkan siapa dengan tidak merdunya kumandang adzan, dan tidak mungkin juga kita menyalagkan suara serak bapak sang pengumandang adzan, cukup kita sadar dengan kepongahan kita akan segala kesibukan sehingga melupakan kemerduan suara adzan.
Kita semua mungkin terlalu sibuk, ada yang sibuk menggali potensi diri dengan mempelajari seluk beluk proses kimiawi sebuah minuman hingga selalu berksperimen dengan Minuman yang kita oplos, ada yang terus duduk berdiskusi sambil ngopi bercerita tentang kebobrokan negeri tanpa diakhiri dengan sebuah solusi, ada yang sibuk dengan tumpukan deadline pekerjaan demi sebuah karir genilang sehingga tak punya waktu untuk memikirkan nasib Ibu pertiwi apa lagi sebuah adzan yang mungkin selama ini sudah kita anggap biasa Cuma sekedar panggilan ibadah, dan tak lupa ada pula disudut taman kota ada yang sibuk dengan kegalauan akan nasib hidup, nasib percintaan hingga terus membuat sajak-sajak yang serasa merdu tapi kadangkala lupa akan perlunya sebuah diksi yang menyejukkan.
Fikiranku terbuka lebar, suara bapak tua sang pengumandang adzan itu menyerukan kata-kata, " Mari kita dirikan Sholat dan Mari kita menuju kemenangan". Ada seruan yang sangat menyentuh, iya sebuah kata kemenangan, kata kemenangan disini aku artikan sebuah kebahagiaan. Â Kata bahagia aku jadikan sebuah key word untuk memaknai tentang pertanyaan-pertanyaan keadaan Ibu pertiwi diatas.