Lama termenung mendengarkan berita - berita berseliweran, melihat dengan picing mata betapa riuhnya media sosial dengan tumpukan berita, entah berita fakta atau hanya sampah pay per klik yang sering dimanfaatkan oleh para netter pemburu dolar. Ada beberapa berita yang lagi hot news bahkan sempat pula berpredikat tranding topic semisal terkait Regulasi pemerintah baru yang berkaitan dengan upaya pengurangan angka pemerkosaan terlebih kejahatan seksual bagi anak di bawah umur, dengan subjek predator seks yang sangat menggemaskan bagi saya, tak ayal saraf emosi kadang bertaut dengan logika.
Kasus demi kasus yang bertubi terpampang oleh pemerintah segera di antitesa dengan di keluarkannya peraturan tentang hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual tentunya dengan pertimbangan dan spesifikasi tertentu. Banyak kalangan yang setuju dengan dan bahkan sangat mendukung dengan hukuman tersebut, tapi tak sedikit pula yang menentang bahkan menghujat hukuman tersebut dengan berbagai  latar belakang argumen yang disampaikan hingga perlindungan hak asasi manusia menjadi dalih penolakan jenis hukuman tersebut. Saya di dalam hal ini berusaha memahami pemikiran masing masing blok terkait  permasalahan tersebut, semua memang punya dalil pemikiran sendiri sendiri tak jarang juga rasa ego keberpihakan dengan pemerintah atau sebaliknya menjadi tendensi upaya pro dan kontra terkait masalah ini.
Ada sedikit analisis dari kuisioner menarik yang coba kita lontarkan kepada para khalayak yang memang coba fokus pada target kelompok yang menolak alias tidak setuju, ada sebuah pertanyaan , andai anak, adik atau saudara anda jadi korban pemerkosaan apa yang anda harapkan dari proses hukuman bagi pelaku, tak ayal hampir semua dah memang semua berharap hukuman seberat beratnya bagi pelaku , hingga hukuman mati dan memang de facto setiap para keluarga korban pemerkosaan akan terus menuntut hukuman seberat beratnya bagi pelaku kejahatan.
Coba kita tarik benag merah dari analisa diatas , jika keluarga kita jadi korban kenapa kita menuntut hukuman yang berat berat bahkan hukuman mati tapi jika orang lain korbannya seolah masih ada celah di pemikiran kita sudut pandang kita akan jenis hukuman yang tepat, Â kadang ketidak setujuan kita akan sebuah kebijakan memang masih terpengaruhi oleh standar ganda pemikiran kita, standar ganda sudut pandang kita, kita masih tendensius karena pembuat kebijakan adalah kelompok yang tidak kita dukung, atau sebaliknya dan masih banyak lagi.
Standar ganda pada sudut pandang kita telah membelenggu kejernihan analisis kita, hingga tak ayal pisau analisis yang sering kita asah malah tumpul akibat standar ganda tersebut, contoh kasus diatas adalah sedikit dari fakta masih begitu kuat di pola pikir kita akan keberadaan standar ganda tersebut, bahasa orang awam bisa di jabarkan jika semua itu dari kita, gilobgan kita, sesuai dengan kita maka kita setuju jika sebaliknya maka harus cari alasan untuk menolaknya.
Kita tidak akan pernah mendapatkan sebuah kesepakatan dalam menilai sebuah permasalahan terlebih dalam rangka upaya kita membangun bangsa ini dengan kapasitas yang kita miliki jika dalam sudut pandang kita masih ada standar ganda , kritik sampah dan sepakat serampangan masih saja menjadi kebiasaan kita sehari hari, wajar jika semua permasalahan hanya jadi bahan perdebatan , sehingga uang menjadi sasaran kerakusan kita , karena berdebat tidak ada titik temu tapi urusan uang semua bisa diatur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H