Masih dalam suasana Lebaran…
Sudah menjadi tradisi bagi kita ketika menyambut hari raya, untuk bersilaturahmi dan saling bermaafan. Baik itu dengan keluarga, kerabat, saudara hingga teman. Berharap langkah kehidupan menjadi lebih ringan, hilang semua beban, bahkan meningkatkan persaudaraan.
Namun sudahkah kita benar-benar saling bermaafan? Hilangkah beban di hati?
Ya, bagi sebagian orang, memaafkan sepertinya begitu mudah. Tapi bagi sebagian yang lain, memaafkan hanya sekedar lisan belaka, hanya sebagai syarat sah berlebaran, belum sepenuh hati. Mengapa bisa begitu?
Mungkin di masa lalu ada seseorang yang telah menggoreskan luka di hati hingga meninggalkan rasa sakit yang begitu mendalam. Atau masih saja mengharap kata maaf dari seseorang yang tak kunjung datang.
Namun, sadarkah kita bahwa menyimpan luka di hati justru menyakiti diri sendiri?
Bahkan ada ungkapan yang mengatakan: “Holding onto anger is like drinking poison and expecting the other person to die.”
Ya, memelihara amarah ibarat menenggak racun lalu berharap orang lain yang akan tewas. Kedengarannya memang konyol, tapi seperti itulah kenyataannya.
Ketika kata maaf tak kunjung datang dan rasa amarah tak kunjung menghilang, bukankah semakin menimbulkan sakit di hati? Dan rasa sakit yang semakin menjadi tersebut justru bisa semakin meracuni diri. Bahkan tak menutup kemungkinan bisa pula menimbulkan derita fisik seperti rasa sakit di kepala, tekanan darah menjadi tidak stabil, penuaan dini pada kulit dan sebagainya.
Apalagi ketika seseorang yang menjadi sasaran amarah kita tersebut sepertinya sama sekali tak merasa bersalah pada kita, atau bahkan kelihatannya masih bisa menikmati kehidupan dengan begitu bahagianya. Seolah tak memedulikan perasaan kita. Hati tentu semakin merana, bukan?
Lalu kita harus bagaimana?