“Kami adalah da’i sebelum menjadi siapapun..” (Syaikh Umar Tilmisani)
***
Suatu ketika, saya pernah ditanya oleh seorang kawan, terkait indikator kesuksesan dakwah yang hakiki. Apakah itu ditandai dengan tegaknya syi’ar islam, ataukah sejatinya itu ditandai dengan banyaknya jemaah yang mengikut seruan tersebut. Saya tertegun. Saya sadar, bahwa agaknya sudah menjadi sunatullah, bahwa sebuah kebenaran terlahir untuk mendapat penentangan dari berbagai pihak. Kita lihat saja, bahkan dalam sebuah hadits diriwayatkan jika di hari kiamat kelak, ada nabi yang datang dengan banyak pengikut, ada nabi yang datang dengan sedikit pengikut, namun, ada nabi yang datang tanpa seorang pengikut pun.
Itulah jalan dakwah. Mari bersama kita membuka lembaran mushaf yang selama ini kita baca, tepat di Surah Asy Syu’araa’. Monggo disimak, tinggal pilih saja, ada banyak kisah para Rasul terdahulu, jika kita ingin menilik bagaimana beratnya ujian dalam dakwah. Kita ambil satu saja, ya.
Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.Ketika saudara mereka (Nuh) berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa? Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku".
Mereka berkata: "Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?". Nuh menjawab: "Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, kalau kamu menyadari. Dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang beriman. Aku (ini) tidak lain melainkan pemberi peringatan yang menjelaskan". Mereka berkata: "Sungguh jika kamu tidak (mau) berhenti hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam".
Nuh berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah mendustakan aku; maka itu adakanlah suatu keputusan antaraku dan antara mereka, dan selamatkanlah aku dan orang-orang yang mu'min besertaku". Maka Kami selamatkan Nuh dan orang-orang yang besertanya di dalam kapal yang penuh muatan. Kemudian sesudah itu Kami tenggelamkan orang-orang yang tinggal. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (Q.S. Asy Syu’araa’: 105-122)
Maha Benar Allah dengan segala FirmanNya. Kita lihat bagaimana dengan seruannya kepada tauhid, Rasulullah Nuh dan para pengikutnya bukan mendapat sanjung puji dan dukungan, apalagi kemewahan duniawi. Justru Nabi Nuh dan pengikutnya dipandang hina oleh kaumnya. Bahkan ancaman hendak dirajam pun, sempat diterima pula oleh beliau. Hingga pada akhirnya Allah memberikan keputusan antara Nuh dengan kaumnya, yaitu air bah yang membinasakan.
Jadi, apakah jamaah merupakan indikator kesuksesan dakwah? Mari kita menyimak kisah Rasulullah yang dirangkum dalam Sirah Nabawiyah. Tentang dakwah beliau di Tha’if. Manakala beliau menetap di Tha’if selama 10 hari, usai seruan dakwahnya ditolak oleh ketiga orang pemimpin Bani Tsaqif, lalu khalayak berkata kepada beliau, “Usir orang ini dari negeri kita dan kerahkan semua rakyat untuk memperdayainya.” Masya Allah.
Tidak berhenti sampai di situ, tatkala Rasulullah hendak pergi, orang-orang yang jahat di antara mereka serta para hamba sahayanya membuntuti sambil berteriak mencaci maki beliau. Maka semua orang pun mengerumuni beliau, membentuk dua barisan, dan melempar batu ke arah beliau, diselingi kata-kata cercaan, hingga mengenai urat di atas tumit beliau. Hingga bahkan, terompah yang beliau kenakan pada saat itu, basah oleh lelehan darah. Shalallahu ‘ala Muhammad.
Maka dapat dibilang dakwah Rasulullah di Tha’if bahkan tidak memperoleh seorang pengikut pun, kecuali seorang budak yang bernama Addas, yang ditemui beliau manakala beliau bersembunyi di kebun anggur milik Utbah dan Syaibah, dari kejaran penduduk Tha’if. Namun apakah kita bisa semena-mena berkata bahwa dakwah Rasulullah ini gagal? Padahal di kemudian hari, jauh setelah itu, banyak penduduk Thaif yang kemudian menjadi pembela terkemuka dari dakwah Rasulullah.
Berikutnya, ada pula kisah lain dalam kitab Sirah yang menarik untuk disimak. Sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, bahwa ketika Rasulullah tengah thawaf di Ka’bah, beliau berpapasan dengan Al Aswad bin Al Muthalib bin Asad bin Abdul-Uzza dan Al Ash bin Wa’il As Sahmi, yang merupakan tetua dari kaumnya.
Seperti inilah agaknya yang mereka ucapkan kepada Rasulullah saat itu, “Wahai Muhammad, kemarilah! Kami mau menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga harus menyembah apa yang kami sembah, sehingga kita bisa saling bersekutu dalam masalah ini. Jika apa yang engkau sembah ternyata lebih baik dari apa yang kami sembah, maka kami boleh melepas apa yang seharusnya menjadi bagian kami, dan jika apa yang kami sembah ternyata lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka engkau harus melepas bagianmu.” Dan jelas, Rasulullah pun menolaknya. Jawaban Rasulullah dapat kita lihat dalam Q.S. surat Al Kafiruun. Surat yang asbabun nuzulnya adalah kisah ini.
Nama surah itu, Al Kafiruun, agaknya sekaligus menjadikan surah itu sebagai petunjuk, bagi para da’i tentang bagaimana bersikap di hadapan kaum dan sistem kuffar. Nah, mari kita tilik bagaimana tauladan yang diberikan oleh Rasulullah. Rasulullah menerima godaan untuk mematuhi sistem kuffar, dengan jaminan janji atas keterbukaan kaum Quraisy kepada ajaran Rasulullah. Namun, Rasulullah tegas menolaknya. Apa yang salah, bagaimanapun tetap salah, tidak bisa dibenarkan bahkan demi motif dakwah. Andaikata Rasulullah melunak lalu menuruti apa yang mereka katakan, bisa jadi beliau makin melunak, dan wallahu a’lam, barangkali saat ini kita masih menjadi penyembah gunung dan nyi roro kidul, karena pupusnya dakwah Rasulullah.
***
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya . Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang keras. Dan rencana jahat mereka akan hancur.” (Q.S. Faathir: 35)
Maka sejatinya, dakwah memang tidak pernah menghantarkan kita pada kemuliaan, dulur. Jalan dakwah sarat akan rajaman batu ujian. Jikalaupun Kanjeng Nabi Sulaiman dahulu memang dikaruniai kenikmatan dunia, istana yang megah, jin-jin yang ditundukkan untuk mentaatinya, serta tidak kurang mukjizat yang juga Allah karuniakan kepadanya, maka itu semata hanyalah pemberian Allah. Bukan keniscayaan taraf hidup yang harus dikejar para mujahid dakwah sebagai indikator keberhasilan dakwahnya, bukan.
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan..” (Q.S. Al Furqaan: 56)
Gusti Allah tidak mendholimi para rasul serta jundi-Nya yang berdakwah di jalan-Nya dengan membebani mereka kewajiban untuk memperoleh pengikut sebanyak mungkin. Atau bahkan memerintahkan kepada hambaNya untuk memperoleh kedudukan yang mulia di dunia, untuk dapat diterima di mata manusia. Tidak. Berkali-kali Allah menegaskan dalam Al Qur’an bahwa tugas seorang Rasul, atau barangkali termasuk juga kita, sebagai pengikut Rasul, hanya memberi peringatan, sekali lagi hanya memberi peringatan.
Namun apakah lantas dengan itu kita mendapat legitimasi untuk semena-mena, berbuat ala kadarnya saja, di jalan dakwah? Sekedar lisan dan raga sudah mengalirkan syi’ar, lantas peduli setan pada mad’u. Sebagaimana sholat yang barangkali, naudzubillah, hanya kita kerjakan demi gugurnya kewajiban. Lalu kita berlalu sambil berkata ringan, “kita serahkan saja semuanya kepada Allah.”
Sejatinya dakwah, ia dimulai dari teririsnya kalbu, menyaksikan kemungkaran menjadi angin lalu dan doktrin sikap yang turun temurun. Dakwah dimulai dari penolakan batin menyaksikan kebenaran terpinggirkan dan hanya bisa mengangguk pasrah di bawah singgasana kejahiliyahan. Maka jika dakwah dimulai dari kepedulian semacam itu, sudah sepatutnya ia dilakukan dengan penuh kesungguhan, dengan totalitas. Karena tidak ada yang dapat memupuskan kesedihan di hati sang mujahid dakwah, selain daripada tumpasnya kebatilan itu. Sekalipun ia mesti menelan pil pahit pragmatisme, bahwa seperti yang sudah saya ungkapkan di awal, sudah menjadi sunatullah bagi kebenaran untuk ditentang. Ia tahu diri untuk tidak bersikap tergesa, dan berharap agar kemungkaran itu bisa lenyap secepat berpindahnya singgasana Ratu Bilqis di hadapan Sulaiman. Maka kesabaran menjadi mentalitas mutlak bagi seorang da’i.
Itu saja? Agaknya tidak. Dakwah, juga harus dilakukan dengan cara yang haq, dengan cara yang benar. Jelas, karena tidak mungkin seseorang yang merasa pedih melihat kemungkaran justru mengamini kemungkaran hanya demi penerimaan di mata masyarakat. Bagaimanapun harus diyakini bahwa dakwah adalah bagian dari pendidikan atas mental masyarakat. Karena agaknya kurang pantas, jika masyarakat yang hendak disuguhi dan dibiasakan dengan kebenaran, justru dikorbankan dengan dilipur melalui dukungan atas budaya jahiliyah mereka hanya demi pamor sang da’i. Mari kita pikirkan, kurang pantas, akhuna sekalian..
Maka mari kita bersama-sama berintrospeksi atas langkah-langkah dakwah yang selama ini kita tempuh, mari. Mari kita bertanya pada diri kita sendiri. Jika selama ini kita berdakwah melalui hujan tausiyah di alam maya atau juga di tengah-tengah masyarakat, mari introspeksi. Jangan-jangan selama ini kita hanya menanti batalyon jempol dan pujian yang hendak bersarang di ‘mahakarya’ tausiyah kita itu. Maka izzah dakwah hanya menjadi kastil megah dengan ribuan troll ujub bermuka busuk di dalamnya. Jika selama ini kita adalah mujahid dakwah yang tengah bertarung di kancah politik, sudahkah kita berada dalam jamaah yang menjunjung tinggi idealisme dakwah kita? Atau justru kita rela menggadaikan amanah dakwah itu demi kuantitas suara yang hendak melenggangkan langkah kita mengecup legine pangkat, nikmatnya menjabat.
Dulur, sejatinya langkah dakwah itu penuh dengan kerikil tajam, medan uji yang tak berkesudahan. Namun jika langkah dakwah kita mulus-mulus saja, bisa jadi kita perlu selasar introspeksi, jangan-jangan ada yang salah dengan dakwah kita...
***
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.." (Q.S. Adz Dzariyaat: 56)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H