Perkelahian antar anak-anak dapat terjadi karena adanya kecemburuan salah satu pihak saat pihak lain mendapatkan perhatian lebih dari orangtua mereka (Andriyani & Darmawan, 2018). Jika ibu lebih suka mengasuh adik, sang kakak mungkin mengalami kecemburuan dan memicu rasa permusuhan antar saudara semakin dalam (Qian et al., 2020). Faktor lainnya yang menyebabkan perkelahian antar saudara adalah kurangnya pengawasan orangtua, kurangnya penanaman nilai kepada anak, dan membiarkan sang kakak bertanggungjawab atas sang adik (Relva et al., 2013).
Penyebab lain dari perkelahian anak-anak adalah adanya perbedaan temperamen antar saudara kandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin temperamen antar saudara berbeda, semakin banyak konflik di antara mereka. Jika sang kakak memiliki temperamen yang tinggi, meskipun tingkat konflik di antara saudara kandung rendah, mereka akan sulit mengembangkan kehangatan antar saudara (Qian et al., 2020).
Dampak Perkelahian Anak Terhadap Perkembangan Psikologis
Seringkali konflik dan perilaku agresi antar saudara kandung dianggap remeh dan diabaikan karena dianggap sebagai pertengkaran yang wajar dan tidak berbahaya (Tucker & Finkelhor, 2017). Namun, apabila konflik ini terjadi secara berkepanjangan dapat memicu munculnya dampak negatif lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik saudara kandung di masa kanak-kanak dapat memprediksi gejala depresi, kecemasan, dan kenakalan seseorang dua tahun kemudian (Pike & Oliver, 2017). Anak-anak yang tumbuh dengan konflik saudara kandung dapat mengalami perasaan putus asa dan merasa bersalah karena berkelahi. Selain itu, anak juga merasa takut bahwa konflik tersebut tidak akan pernah berakhir. Perasaan ini dapat memperkuat munculnya gejala depresi dari waktu ke waktu (Buist et al., 2013). Konflik antar saudara kandung juga dapat meningkatkan kecemasan dan menurunkan harga diri sehingga cenderung membuat anak kesulitan dalam menyesuaikan diri (Lindell et al., 2013). Konflik yang berkepanjangan juga dapat menyebabkan anak mengalami gangguan makan, masalah dengan obat-obatan dan alkohol, melakukan tindakan agresif di sekolah, dan masalah perilaku lainnya (Relva et al., 2013).
Kesimpulan
Setelah mengobrol bersama guru TPA, saya mendapatkan informasi bahwa kedua kakak beradik tersebut berasal dari keluarga yang kurang harmonis, di mana orangtua mereka telah bercerai dan sang ibu meninggalkan ketiga anaknya. Setelah itu, kedua kakak beradik tersebut pun tinggal bersama nenek mereka. Selain itu, sang kakak pun pernah mencoba "nge-lem" hingga membuat beberapa fungsi motorik dan kognitifnya tampak terganggu. Oleh karena itu, saya berasumsi bahwa perkelahian antar kakak beradik tersebut dapat terjadi karena kurangnya pengawasan dari orangtua. Ibu ngaji di TPA tersebut menyatakan bahwa sang adik merasa senang saat kelompok saya datang karena ia bisa memperoleh perhatian yang kurang ia dapatkan dari keluarganya. Dampak psikologis perkelahian yang tampak terlihat pada sang adik adalah ia terlihat merasa takut dan tidak aman saat berdekatan dengan kakaknya. Selain itu, ketika sang adik coba untuk mendekati sang kakak, sang kakak terlihat menolak kehadiran sang adik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H