Mohon tunggu...
Navita Astuti
Navita Astuti Mohon Tunggu... -

Seorang ibu rumah tangga dan penulis. Berminat pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Anak-anakku, Sekolahku

25 Mei 2012   22:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:47 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1337983892351355437

“Duniamu diciptakan kembali bagimu oleh anak-anak.

Susan Sarandon”

“Nak, mandi yuk… sebentar lagi kamu harus berangkat ke sekolah. Jangan sampai terlambat.”

“Nggak mau! Prana nggak mau sekolah, Ma! Prana mau nonton di rumah aja!” rajuk putri pertamaku, menyebut dirinya dengan nama panggilannya.

Aku menghela nafas. Tidak hanya satu kali putriku ‘ngadat’ setiap diajak mandi pagi. Setiap kali terjadi penolakan-penolakan itu, aku harus selalu memutar otak supaya dapat ‘menggiring’ anakku ke kamar mandi.

“Yuk, bawa mainan bebeknya ke kamar mandi. Kita mandiin bebeknya yuuuk..” seruku.

Prana yang tengah nongkrong di hadapan televisi seketika menoleh. Wajahnya mulai menampakkan ketertarikan untuk mengikuti aku ke kamar mandi. Fffiuuuh.. satu pagi terlewati dengan mulus. Prana akhirnya selesai mandi, sikat gigi, siap ke sekolah. Entah kerewelan apa lagi yang akan kuhadapi sepanjang hari itu.

* * *

“Prana, makan nasi pake sayur brokoli ya?”

“Nggak mau, Ma! Prana mau makan kerupuk aja.”

Kesabaranku mulai diuji lagi. Padahal, nasi mengepul-ngepul di piring, telah disiapkan. Sayur capcay berisi brokoli, wortel dan udang telah kumasakkan untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Putar otak lagi deh, supaya putriku itu mau memakan makanannya.

“Nih, mama putarkan video kesukaanmu ya? Dora The Explorer!” ujarku sambil memasang kepingan VCD ke dalam video player dan memencet tombol play. Serta merta muncul jingle Dora The Explorer di layar televisi. Putriku langsung asyik menonton kartun kesukaannya. Tanpa ia sadari, aku telah menyuapkan beberapa sendok makanan ke mulutnya.

Pluuuk! Bunyi halus sebuah benda lembek di lantai. Wajahku menegang melihatnya. Putriku membuang makanan yang sudah dikunyahnya ke lantai! Ggggrrrrrhhh….!!! Tetap kuupayakan kesabaran agar acara makan tidak bubar jalan dan si anak tidak mengalami kekerasan apapun dariku. Secarik kertas tisu kuambil dari kotaknya dan mengelap makanan yang ditumpahkan anakku di lantai.

“Kenapa Prana membuang makanan?” tanyaku.

“Ada yang pedes Ma.”

“Ah, masa? Tadi mama masak nggak pake cabe. Kok bisa terasa pedes ya?” tanyaku lagi. Aku menggelengkan kepalaku. Putriku ini, sudah pintar mengarang sebuah pembenaran atas tindakan yang dilakukannya.

Prana diam saja. Matanya terus menatap acara kartun kesukaannya di televisi. Kembali kusuapkan sesendok demi sesendok sembari terus berdoa, agar makanan yang kusiapkan tandas masuk ke dalam perutnya.

Segemas-gemasnya pada kelakuanseorang anak, tetapi hati berubah menjadi sendu ketika ia jatuh sakit. Tidak ada keriangan suara yang biasa terdengar sepanjang hari. Tidak ada kehebohan terjadi saat memandikan ataupun menyuapi makanan. Yang tersisa pada hari itu adalah sebuncah rasa cemas, terutama ketika panas tinggi mulai merayap naik.

“Prana, kenapa diam saja? Demam lagi?” tanyaku pada putri pertamaku itu.

Bidadari kecilku itu mengangguk lemah. Kepalanya terkulai lemah di sandaran sofa. Mata kuyu, bibir kering dan nafas tersengal. Pertanda tubuhnya tidak sehat.

“Ayo, Prana minum air putih dulu nih.. Biar cepat turun panasnya.” sahutku sambil mengangsurkan gelas air putih kepadanya.

Prana membuka sedikit mulutnya lalu meminum airnya. Sedikiiiiit sekali.

“Kok minumnya sedikit banget? Ayo minum lagi.”

Prana menggeleng lemah. Aku menghela nafas. Susah sekali memintanya minum air putih yang banyak, padahal suhu tubuhnya mulai merayap naik. Padahal, dengan minum air putih yang banyak, dapat membantu mempertahankan suhu tubuhnya. Kalau sudah begitu, paracetamol menjadi senjata utama untuk memerangi panas tingginya. Satu sendok takar paracetamol, cukup untuk membuat suhu tubuhnya normal kembali dalam kurun waktu 4 jam.

Sekitar 30 menit setelah pemberian paracetamol, kulihat bidadari kecilku mulai berlari-lari kembali di tengah ruangan. Terkadang ia menari mengikuti irama musik yang terdengar di televisi. Ah, anakku sudah segar kembali! Meski demikian, aku masih harus waspada karena demamnya bisa datang kembali setelah pengaruh obatnya hilang.

* * *

Ah, ternyata begini toh rasanya menjadi ibu? Sebuah peran yang menuntut kesabaran sepanjang jalan, kasih sayang tanpa pamrih dan keteguhan untuk menghadapi cobaan. Untuk menjadi seorang ibu, tak semudah membalik telapak tangan, bahkan tak segampang ketika mengatakannya! Apalagi, tidak ada sekolah-sekolah maupun universitas di manapun yang memberi kuliah tentang bagaimana menjadi ibu.

Namun, aku yakin semua ibu di dunia ini belajar dari pengalaman keseharian mereka bersama anak-anak mereka. Jadi sesungguhnya, anak-anak adalah guru bagi semua ibu. Bagiku, mendampingi anak-anak di masa-masa perkembangannya, memberi pelajaran yang baik pula untuk menjadikanku sebagai seorang ibu. Jujur saja, aku sebenarnya termasuk orang yang seringkali berorientasi hasil. Aku adalah orang yang menginginkan hasil cepat dan instan.

Dalam setiap fase perkembangan anak, orang tua dituntut untuk sabar mendampingi setiap proses yang dialami oleh sang anak. Hal ini yang kualami ketika mendampingi kedua anakku, Prana dan Vidya. Aku belajar untuk sabar dan setia pada proses-proses seperti  : mengajari minum dari gelas, memegang sendok garpu saat makan, mencuci tangan sendiri, pakai baju sendiri, sikat gigi, mengajari naik sepeda dan berenang, membaca dan masih banyak lagi.

Aku merasa sungguh dibutuhkan oleh anak-anakku dalam keseharian bersama mereka. Aku ada saat anakku bangun pagi, maupun ketika akan tidur malam. Aku membacakannya buku pengantar tidur dan mengajaknya berdoa sebelum tidur. Saat anakku sedang dalam masa-masa egosentris, tak mau berbagi mainan misalnya, aku mendampinginya agar mau berbagi dengan saudara atau temannya. Aku juga hadir ketika anakku tampil untuk pertama kalinya di pentas sekolahnya, memberi dukungan agar kepercayaan dirinya meningkat. Dengan hadir dalam keseharian bersama anak-anak, aku merasa telah mendukung perkembangan emosional mereka.

Akhirnya aku tiba pada sebuah titik kesadaran, bahwa dalam setiap kehadiranku sebagai ibu yang mungkin terasa sepele, justru di sanalah dukungan yang sangat berarti telah diberikan bagi perkembangan anak-anakku. Tanpa kusadari, aku juga mengalami banyak perubahan. Aku sendiri juga belajar untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku. Ya, anak-anakku, kalianlah sekolah mama saat ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun