Mohon tunggu...
Moh Nauval Karim Al Alawi
Moh Nauval Karim Al Alawi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Nama saya Moh Nauval Karim Al Alawi. Lahir dan besar di Lamongan, Jawa Timur, dan sedang menempuh pendidikan S1 di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah.

Selanjutnya

Tutup

Politik

DPR dan RUU Pilkada: Pembangkangan Konstitusi dan Aspirasi Rakyat

22 Agustus 2024   16:54 Diperbarui: 22 Agustus 2024   17:04 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manuver DPR RI dalam kebut revisi UU Pilkada sehari setelah Putusan MK Nomor 60/2024 keluar merupakan contoh buruk dalam penegakan hukum. Revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR berpotensi menganulir Putusan MK tersebut dengan mengembalikan syarat pencalonan calon kepala daerah ke aturan lama. Tindakan ini mencerminkan upaya DPR untuk mereduksi hukum menjadi alat kekuasaan demi kepentingan politik sempit.

Selain itu, DPR juga menolak menjalankan Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat usia minimum calon kepala daerah. Padahal, dalam putusan tersebut MK menegaskan bahwa titik hitung usia minimum calon kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon oleh KPU. Situasi ini menjadi angin segar bagi Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, yang mulai digadang-gadang maju dalam Pilkada 2024.

Upaya DPR mengabaikan dua Putusan MK terbaru ini diduga untuk mengakali Pilkada 2024 agar di sejumlah daerah, terutama di Jakarta, dapat didominasi Koalisi Indonesia Maju (KIM) tanpa kandidat kompetitor yang riil. Selain itu, revisi UU Pilkada juga ditengarai untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep untuk mencalonkan dalam Pilgub meskipun belum memenuhi syarat usia pencalonan kepala daerah.

Tindakan DPR ini jelas mendelegitimasi Pilkada 2024 sejak awal karena aturan main Pilkada diakali sedemikian rupa untuk meminimalisasi kompetitor dengan menutup ruang-ruang kompetisi yang sehat. Hal ini tentu saja sangat disayangkan dan menjadi perhatian serius bagi seluruh elemen masyarakat, termasuk para mahasiswa.

Mahasiswa memiliki peran krusial dalam menanggapi persoalan revisi UU Pilkada, terutama yang berkaitan dengan pengabaian Putusan MK. Mereka harus kritis terhadap kebijakan yang diambil oleh DPR dan pemerintah, serta berani menyuarakan pendapat untuk menjaga integritas demokrasi. Melalui diskusi dan sosialisasi, mahasiswa dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengikuti proses demokrasi dan memahami dampak dari revisi UU tersebut. Mahasiswa perlu terlibat dalam gerakan sosial untuk menuntut kepatuhan terhadap konstitusi dan menolak praktik politik pragmatis yang merugikan demokrasi. Dengan memanfaatkan platform digital, mahasiswa dapat menyebarluaskan informasi dan mobilisasi dukungan untuk kandidat yang lebih representatif dan adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun