Pemerintah telah meluncurkan rencana ambisius untuk menjadikan Indonesia sebagai pemain utama dalam industri kendaraan listrik dengan mendorong pengembangan sektor pertambangan, khususnya nikel, melalui serangkaian kebijakan hilirisasi. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang yang diekspor, dengan harapan dapat menciptakan rantai pasok lokal yang lebih kuat dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, di tengah semangat tersebut, Pulau Obi, sebuah pulau kecil yang terletak di Maluku Utara dan sering kali terlewatkan dari perhatian publik, mengungkap ironi yang tak terduga.
Nikel sebagai Sumber Daya Alam
Nikel, mineral yang melimpah dan memiliki potensi besar dalam industri global, menjadi bahan utama dalam strategi hilirisasi sektor pertambangan Indonesia. Pulau Obi, yang terletak di Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, memiliki cadangan nikel yang melimpah. Pulau ini, dengan luas sekitar 2.500 kilometer persegi atau hampir empat kali luas DKI Jakarta, menjadi salah satu sentra utama dalam upaya hilirisasi sektor pertambangan nikel di Indonesia. Â Namun, apa yang terjadi di Pulau Obi justru mengekspos sebuah paradoks yang mencengangkan, di mana upaya untuk meningkatkan nilai tambah bahan tambang seharusnya menghasilkan dampak positif, namun kenyataannya menghadirkan tantangan yang tak terduga.
Meskipun upaya meningkatkan nilai tambah bahan tambang nikel di Pulau Obi bertujuan mulia, kenyataannya langkah-langkah tersebut telah menyebabkan dampak serius pada lingkungan lokal, terutama terlihat di ekosistem perairan sekitar pulau tersebut.
Akibat dari Sebab Pembuangan Limbah Smelter
Meskipun pemerintah telah memberikan perhatian terhadap aspek lingkungan, dengan adanya pabrik peleburan bijih nikel (smelter) dan fasilitas pemurnian nikel, sebagian besar volume bijih nikel yang dimanfaatkan dalam proses produksi di Pulau Obi ternyata berujung pada sisa hasil pengolahan (SHP). Sisa hasil pengolahan (SHP) ini mencakup material seperti slag, yang dihasilkan dari proses peleburan bijih nikel di smelter, dan tailing, yang merupakan produk sampingan dari proses pemurnian nikel. Namun, disayangkan, sebagian dari SHP ini tidak mendapat penanganan yang tepat dan malah dibuang langsung ke laut atau sungai di sekitar Pulau Obi. Â Dapat dilihat dalam penelitian oleh tim Narasi terdapat 1 sampel dari 12 sampel yang diuji memiliki kadar nikel di atas ambang batas yaitu sebanyak 0,056 mg/L, yang mana ambang batas yang ditetapkan sebanyak 0,05 mg/L berdasarkan Permen LH No.6 Tahun 2009 (Narasi Newsroom, 2022, 6:59).
Hal ini menimbulkan keprihatinan serius terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkannya, karena limbah tersebut dapat mencemari ekosistem perairan dan mengganggu kehidupan laut serta keberlangsungan hidup masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya laut tersebut. Â Hasil sisa pengolahan ini meliputi slag yang dihasilkan dari proses peleburan bijih nikel di pabrik smelter, serta tailing yang dihasilkan dari proses pemurnian nikel di fasilitas pengolahan. Ironisnya, sebagian dari sisa hasil pengolahan ini, yang seharusnya ditangani dengan tepat sesuai standar lingkungan, justru dibuang secara tidak bertanggung jawab ke perairan sekitar Pulau Obi, baik ke laut maupun sungai.
Tantangan yang Dihadapi
Tantangan semakin kompleks dengan mempertimbangkan bahwa meskipun nikel masih menjadi komponen utama dalam teknologi baterai kendaraan listrik, namun industri ini terus mencari alternatif dan mengembangkan inovasi baru, seperti baterai lithium iron phosphate (LFP) dan baterai sodium-ion, yang dapat mengurangi ketergantungan pada nikel. Sejumlah inovasi dalam teknologi baterai telah memperkenalkan alternatif yang tidak bergantung pada nikel. Salah satunya adalah baterai lithium iron phosphate (LFP), yang menjanjikan kinerja yang stabil dan umur pakai yang lebih panjang dibandingkan dengan baterai konvensional. Selain itu, ada juga baterai sodium-ion yang menawarkan keunggulan dalam ketersediaan bahan baku yang lebih melimpah dan biaya produksi yang lebih rendah. Dengan terus berkembangnya teknologi ini, alternatif-alternatif tersebut semakin menarik perhatian sebagai solusi yang berkelanjutan untuk industri kendaraan listrik. Sementara produsen mobil listrik ternama seperti Tesla mulai mengeksplorasi penggunaan baterai dengan teknologi lithium iron phosphate (LFP) sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan mereka pada nikel dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik.
Tindakan yang Harusnya Dilakukan
Di Pulau Obi, perusahaan-perusahaan tambang yang aktif di sana harus melakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik-praktik operasional mereka. Langkah-langkah konkret perlu diambil untuk meningkatkan keberlanjutan dalam manajemen lingkungan. Ini mencakup peninjauan ulang terhadap proses ekstraksi, pemurnian, dan pembuangan limbah untuk memastikan bahwa dampak negatif terhadap lingkungan minimal. Diperlukan juga keterlibatan aktif dalam mengembangkan dan menerapkan praktik-praktik ramah lingkungan serta memperkuat sistem pemantauan lingkungan yang transparan dan dapat diakses oleh masyarakat setempat.Â
Keterlibatan aktif masyarakat lokal dalam proses pengelolaan dan pemantauan lingkungan menjadi esensial dalam memastikan bahwa upaya hilirisasi nikel tidak berakhir dengan ironi yang merugikan bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan melibatkan mereka dalam pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan lingkungan, serta memberikan pelatihan dan sumber daya yang diperlukan, masyarakat dapat berperan sebagai penjaga lingkungan yang efektif. Dengan demikian, tidak hanya memberikan pengawasan yang lebih cermat terhadap praktik-praktik industri, tetapi juga memastikan bahwa kebutuhan dan kekhawatiran lokal diakomodasi dengan baik dalam setiap langkah hilirisasi nikel.
