Negara-negara di Timur Tengah tidak pernah lepas dari perang dan konflik. Akhir-akhir ini ada beberapa perang yang terjadi di Timur Tengah, mulai dari Perang Iran-Irak pada tahun 1980-1988, perang koalisi AS melawan Irak pada tahun 1991 dan tahun 2003, Perang Israel melawan warga Gaza tahun 2008-2009, dan 2012, dan perang di Lebanon tahun 1982, dan 2006. Sejak 2010, terjadi pula fenomena yang kerap disebut Arab Spring, dimulai dari penggulingan rezim di Tunisia tahun 2010 dan Mesir tahun 2011, penggulingan Gaddafi oleh milisi bersenjata lokal yang dibantu NATO tahun 2011, dan perang berkepanjangan di Suriah mulai tahun 2011 hingga sekarang, serta agresi Arab Saudi ke Yaman sejak tahun 2015 hingga sekarang.
Kericuhan di Timur Tengah membuat sebagian pihak membuat sebuah pernyataan “Dunia Lebih Damai Tanpa Timur Tengah”, seolah-olah sumber kekacauan ini adalah warga Timur Tengah sendiri. Sementara jika kita amati aktor-aktor yang terlibat, kita bisa mengetahui bahwa aktor terkuat dalam konflik-konflik di Timur Tengah adalah negara-negara Barat sebagai pemilik modal terkaya di dunia. Pergejolakan politik baik internal maupun eksternal dari negara-negara Timur Tengah didasari oleh keinginan sebagian pihak, terutama pemodal, mereka bertujuan untuk menguasai sektor ekonomi utama yaitu minyak dan gas. Namun, tidak dipungkiri bahwa gelombang-gelombang konflik ini muncul di tengah rezim pemimpin yang tidak disukai sebagian rakyatnya. Ini menjadi dalih yang dipakai oleh negara adidaya untuk melakukan intervensi.
Konflik Israel-Palestina, menyisakan duka yang mendalam bagi setiap manusia yang berada dalam putaran peristiwa itu. Sudah tidak terhitung lagi, korban yang jatuh, seakan menjadi prasyarat utama bagi berdirinya satu kekuatan yang penuh dengan balutan egoisme. Perang, dianggap sebagai solusi akhir yang efektif dalam menyelesaikan musibah kemanusiaan ini. Kecaman dunia yang dialamatkan kepada Israel sebagai pihak “pendatang” yang tidak segan melayankan aksi sporadis membunuhi warga Palestina, seakan dianggap nada sumbang yang tak perlu disimak.
Upaya untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina bisa dengan merekonstruksi kebijakan internal pemerintahan Israel. Keadaan Knesset atau Parlemen Israel yang didominasi oleh segolongan pejabat yang menghendaki pengambilan menyeluruh wilayah Palestina bahkan dalam jangka yang lebih lama, berambisi untuk mengambil Jordania dan Syria guna membentuk negara Israel raya haruslah segera diakhiri. Parlemen Israel, haruslah diduduki oleh orang-orang yang pro dengan perdamaian. Jika sudah demikian, maka kemungkinan untuk mengamandemen kebijakan-kebijakan despotik dapat diredusir dan dihilangkan diganti dengan good policy yang mengarah pada penciptaan iklim filantropis dan kekeluargaan bagi kedua entitas tersebut.
Dalam bidang ekonomi, para pakar memandang bahwa kembalinya pembicaraan tentang boikot saat ini merupakan pukulan telak dan keras dari Arab kepada entitas zionis dan terhadap orang-orang yang berada di belakangnya seperti negara-negara Eropa dan Amerika. Dan bermanfaat untuk menegaskan bahwa masyarakat Arab masih bisa berbuat dan ditangannya ada lembaran-lembaran penekan yang beragam yang tidak mampu dilakukan oleh para pemimpin dan rezim Arab yang hina “walau sekedar menghentikan konspirasi” untuk mengontrol atau melakukan pengawasan atasnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H