Mohon tunggu...
Naura Herasmana
Naura Herasmana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hanya seorang pelajar yang ingin meluapkan pendapatnya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apakah Kekuatan Legitimasi Sanksi dalam Perang Ukraina dan Rusia Dipertanyakan?

6 Juni 2022   15:00 Diperbarui: 7 Juni 2022   06:22 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dengan keadaan dunia yang diterpa oleh pandemi Covid-19 dan sekian banyak masalah yang bersirkulasi di dunia ini, terdapat juga sebuah perang yang berkecamuk. Namun pada kali ini, seluruh dunia berada dalam situasi dimana mereka harus berpihak. Akan tetapi, para petinggi setiap negara tidak ingin mengirimkan pasukan dan senjata mereka. Alih-alih, mereka bertransisi dengan menggunakan senjata baru. Sebuah senjata kasat mata, yang terlihat sedikit berbeda dengan jenis senjata yang kita biasa melihat dalam sebuah perang, yang hanya mungkin digunakan akibat ekonomi dunia kita yang saling terhubung satu sama lain, yakni sanksi.

Sanksi merupakan secarik kertas yang berisi sekumpulan daftar yang dibuat oleh suatu pemerintahan mengenai hal-hal yang tidak diperbolehkan untuk datang ke negara kita atau negara manapun yang menulis sanksi tersebut. Sanksi telah menjadi instrumen yang fundamental dalam kebijakan luar negeri. Dalam konflik diplomatik, mereka mengerucutkan fokusnya dalam perubahan kebijakan pemerintah asing guna merusak sebuah perekonomian negara. Sanksi melukai ekonomi dalam suatu negara sebab mereka melakukan pembatasan atau larangan perdagangan suatu barang tertentu, pemutusan hubungan keuangan dan embargo besar-besaran. Namun, sanksi di sisi lain tidak dikenakan biaya untuk ekonomi pengiriman sehingga perusahaan domestik yang terlibat dalam bisnis dengan negara-negara target akan mendapatkan kerugian jaminan yang begitu besar.

Sejarah penggunaan sanksi dalam suatu perang memiliki rekor yang beragam. Mereka bekerja dengan baik dalam kondisi multilateral, seperti halnya yang terjadi sanksi membantu mengakhiri apartheid di Afrika tetapi di sisi lain gagal menghentikan ambisi nuklir Korea Utara dan Iran. Jika kita aplikasikan permasalahan legitimasi sanksi pada kasus perang Ukraina dan Rusia, hal tersebut akan menghasilkan output yang kurang lebih sama. Sanksi telah menjadi salah satu kunci krusial dalam tanggapan Uni Eropa terhadap tindakan Rusia terhadap Ukraina. Pada suatu titik tertentu, hal tersebut memicu perdebatan di antara anggota-anggota Uni Eropa mengenai apakah sanksi ini dapat menggoyahkan keinginan Rusia untuk berhenti menyerang Ukraina dan apakah memiliki dampak yang besar bagi perekonomian Moskow.

Mengingat bahwasannya ini bukanlah pertama kali Rusia menginvasi Ukraina, maka dapat kita bandingkan hasil pertama dan kedua sanksi yang dilakukan oleh kubu barat terhadap Rusia. Pada Februari 2014, Rusia dan beberapa kelompok separatis melakukan tindakan invasi di Ukraina. Dengan segera, Uni Eropa beserta dukungannya menindaklanjuti konflik yang terjadi pada Ukraina tersebut dengan mengeluarkan tiga sanksi. Gelombang pertama dan kedua dalam sanksi menggarisbawahi fokusnya pada pembekuan aset dan larangan perjalanan bagi beberapa pejabat, institusi, lembaga keuangan utama Rusia yang memiliki relasi dekat dengan Kremlin, serta para oligarki. Terlebih lagi, keinginan Uni Eropa dan kubu barat untuk memberi sanksi lebih kepada Rusia menumbuh disaat kelompok separatisme dengan tidak sengaja menggunakan senjata nuklirnya untuk menembak pesawat Malaysia MH17. Kemudian dilanjutkan dengan sanksi gelombang ketiga yang berkembang dari sanksi sebelumnya, yakni entitas Rusia tidak dapat mengekspor barang tertentu dan membeli aset dari dalam maupun luar negeri.

Meskipun dengan tiga gelombang sanksi yang diberikan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, keberadaan Rusia di Ukraina sudah di titik penghujung sehingga dengan kata lain, sanksi tersebut tidak sama sekali memaksa Rusia untuk kembali ke posisi awal melainkan sanksi tersebut mampu menyatukan beberapa suara rakyat Rusia untuk mendukung tindakan diskriminasi Vladimir Putin. Tidak dipungkiri dengan fakta bahwasannya sanksi tersebut mendorong hubungan bilateral Rusia dengan Tiongkok lebih erat. Hal tersebut secara tidak langsung menjadi sebuah tantangan bagi kubu barat dikarenakan dapat mempercepat pembentukan infrastruktur keuangan global non-barat. Terlebih lagi, aneksasi Crimea pada tahun 2014 tetap terlaksanakan dan sanksi dikatakan gagal mengganggu kerja Rusia dalam Ukraina.

Dalam invasi Rusia ke Ukraina kali ini, langkah-langkah yang dilakukan oleh Uni Eropa beserta dukungannya antara lain, (1) membekukan aset dua kelembagaan keuangan Rusia (Alfa Bank dan Sberbank), (2) membekukan aset perusahaan milik negara besar yang kritis , (3) sanksi terhadap pejabat pemerintah Rusia serta anggota keluarga mereka, (4) Mengakhiri semua impor batu bara dan minyak Rusia. Meskipun dengan sanksi yang diberi Uni Eropa pada kali ini, masih terdapat sebuah dilemma akan sanksi yang diberikan. Hal tersebut menggarisbawahi bahwasannya dalam suatu krisis, sangatlah langka untuk melihat sebuah jalan yang memberi pilihan yang baik ataupun buruk. Alih-alih pilihan yang sering muncul dalam peperangan adalah alternatif untuk memilih yang paling tidak buruk. Karena sanksi yang diberikan oleh negara-negara kepada Rusia pada akhirnya akan memberi dampak keseluruhan ke dunia seperti kenaikan minyak, bahan bakar serta beberapa makanan lainnya. Terlebih juga para oligarki di Rusia juga merasa jika sanksi yang diberikan ini masih terdapat loophole sehingga mereka masih dapat melakukan transaksi melainkan masyarakat sekitarlah yang merasakan dampak yang berat akan sanksi yang diberikan ini.

Dari pernyataan yang telah dipaparkan, dapat kita tarik kesimpulan bahwasannya terdapat beberapa argumen mengenai apakah kali ini sanksi dapat memperlambat keadaan perang yang terjadi terhadap Rusia. Perlu kita ingat bahwasannya terdapat para petinggi negara dan para oligarki merasakan pemberian sanksi ini hanyalah angin berlalu tetapi yang mendapatkan dampak sanksi terbesar bukanlah mereka melainkan para rakyat yang menjadi korban perang. Dengan begitu, penulis dapat menarik kesimpulan jika sanksi yang diberikan oleh Uni Eropa beserta dukungannya tidaklah ampuh bagi Rusia sendiri. Mengingat terdapat beberapa faktor yang dapat dihindari oleh Rusia meskipun telah menetapkan sanksi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun