Mohon tunggu...
Nauroh Asyifa
Nauroh Asyifa Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Nauroh Asyifa adalah nama penaku kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Penulis menyelesaikan S1 Teknologi Hasil Perairan Ipb, Bogor, saat ini beraktifitas sebagai pengajar Matematika di SMA Daarul Quran, Cikarang, Bekasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

"Selamat Tinggal Mutiara di Ujung Utara (Natuna Island)

27 April 2012   22:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:01 2789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sabtu, 28 April 2012 Tak terasa 10 bulan telah berlalu, setelah tepatnya 30 juni untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Kepulauan Natuna. Sesosok pulau yang terletak paling utara Indonesia, yang berbatasan langsung dengan Vietnam dan Kamboja di bagian utara. Sebuah kabupaten dengan gugusan pulau, konon Natuna dikenal dengan pulau tujuh. Namun di Kabupaten ini sebenarnya terdapat 350 pulau dengan 48 pulau berpenghuni, dan sisanya 302 pulau tidak berpenghuni. Kabupaten ini 99,01% merupakan wilayah perairan laut dan sisanya 0,99% berupa daratan. Sebuah pulau yang sering diceritakan dosen-dosenku tentang keeksotisan dan kealamiannya saat aku kuliah di fakultas perikanan IPB. Selama ini, Natuna yang berada pada jalur pelayaran Internasional dikenal sebagai penghasil Minyak dan Gas bahkan terbesar di Asia Tenggara. Namun, Natuna, tidak hanya menyimpan hasil bumi, karena banyak tempat dapat dijadikan daerah kunjungan wisata, dengan pesona alam pantai dan laut, serta pulau-pulau yang indah untuk dikunjungi. Perkebunan karet, kelapa dan cengkeh adalah hasil utama. Rasa penasaran berpetualangpun pun muncul ingin mengetahui sosok pulau tersebut. Ternyata kini aku berkesempatan untuk menjadi penyuluh perikanan khusus mendampingi nelayan rumput laut.
Aku tak pernah membayangkan sebelumnya, kenapa aku bisa sampai di pulau ini, karena sebelum keberangkatan tiga orang temanku menggagalkan keberangkatannya denganku untuk menjadi penyuluh. Keraguan dan ketakutan untuk berangkat mulai menghantui. Bagaimana tidak takut, aku harus berangkat sendiri mengarungi laut selama 4 hari di kapal laut KM Bukit Raya di suatu daerah yang sama sekali tidak aku ketahui. Akupun meminta beberapa nasehat di salah satu dosen pembimbingku, beliaupun merasa berat dengan keberangkatan ku selain surat kelulusanku yang belum keluar, aku adalah perempuan sehingga beliaupun khawatir. Sekali lagi aku menjelaskan, “pak, saya membutuhkannya agar 3 orang adikku tetap bisa sekolah dan bisa membantu orang tua”. Tak lupa aku meminta petunjukNya melalui shalat istikharah, hati pun mantap dan akupun berangkat mengarungi laut selama 4 hari dari Jakarta hingga Kepulauan Natuna. Gugusan pulau-pulau ku arungi dan ku nikmati betapa kayanya negeri ini. Kini ku percaya benar bahwa negeri ini memilki beribu-ribu pulau.

Saat pertama kali aku tiba di Pelabuhan Natuna, Selat Lampa, langsung tergambar dalam pandanganku, sejelek ini kah natuna? Di sepanjang perjalananku dari pelabuhan menuju lokasi tugas nampak jalan-jalan yang ku lewati begitu gersang, sunyi, panas yang sangat seperti tak ada tanda-tanda kehidupan, terbisik dalam hatiku akankah aku hidup 10 bulan ke depan di negeri sesepi ini?. Tak mengapa ini adalah tantangan baru, aku hanya berharap bisa memberi manfaat dan belajar banyak tentang hidup.

Hari-hari mengawali pengenalanku dengan wilayah Natuna khususnya lokasi tempat Tugas. Aku harus mendampingi nelayan di tiga Desa Tanjung, Kelanga, dan Pengadah dengan jumlah 30 nelayan dengan lokasi desa Pengadah yang letaknya sangat jauh. Selain kondisi jalan yang berpasir dan berkapur, serta belum beraspal, desa ini sangat susah sinyal untuk komunikasi, bahkan listrikpun belum masuk idi desa ini. Perjalanan menuju desa tersebut kurang lebih 1-1,5 jam karena jalan yang rusak dan berbukit-bukit. Aku harus mendampingi nelayan yang semuanya adalah kelompok bapak-bapak. Kadang terlintas dalam benak ini, memang untuk petugas lapang seperti ini kurang cocok untuk kaum Hawa, tak apa aku berusaha menikmati walau sebenarnya aku merasakan sehari serasa sebulan sebulan serasa setahun, setahun serasa se-abad. Biasanya aku mengajak teman untuk ke desa tersebut membantuku sebagai sopir,karena aku belum lihai mengendarai motor dengan kondisi medan yang cukup sulit. Aku pernah terlempar jatuh dari motor, bahkan ban motor kami meletus dua kali berturut-turut dengan kondisi daerah yang sepi, gersang, dan panas yang sangat menyengat, membuatku belajar banyak tentang alam.
Ku awali hari-hariku berkenalan dengan para nelayan, ada yang ramah, ada yang serem, dan tak jarang mereka yang mengeluh dengan kondisinya. Sebenarnya aku datang bukan sebagai pembawa solusi tapi kita bersama untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman, walau kadang tak faham dengan bahasa melayu mereka, ikut saja deh. Hal yang paling susah adalah mengubah paradigma berfikir para nelayan yang lebih suka diberi bantuan uang dari pada kail untuk bisa berkembang dan memberdayakan hidup mereka. Tak banyak aku bisa mengubah cara berfikir mereka, paling tidak kami bisa berbagi dan bertukar fikiran. Aku harus mendampingi dan mengontrol para nelayan sejak pembagian Paket bantuan budidaya rumput laut hingga penanaman, sangat berharap bisa sampai panen, namun masa kontrak sepertinya tidak cukup.Banyak hambatan baik itu teknis lapang maupun kondisi alam yang kurang mendukung, membuatku sabar dan banyak belajar.

Tak lupa aku jelajahi beberapa pulau di natuna seperti pulau serasan, sedanau, pulau laut, Midai, sedangkan aku tinggal di pulau Bunguran yang merupakan pulau terbesar Natuna. Keindahan dan keeksotisan alam Natuna membuat aku sedikit berat untuk meninggalkannnya. Aku juga sangat menyukai budaya dan seni Melayu Natuna, lebih-lebih ketika aku menghadiri event terbesar Natuna pada MTQ ke VII di pulau Midai, luar biasa aku menyaksikan kehebatan dan prestasi anak-anak pulau pedalaman, khususnya pada saat mereka tampil dan dalam seni tari bernuansa religious dan menggambarkan simbol-simbol tentang kekayaan Natuna.
Selain tugas utamaku sebagai pendamping nelayan, kumanfaatkan sisa waktuku untuk mengajar beberapa anaka nelayan, dan mengajar di salah satu bimbingan belajar ternama Indonesia, karena itu adalah hobiku untuk mengajarkan dan berbagi ilmu. Akupun harus berpindah tempat tinggal hingga empat kali. Pertama aku tinggal dengan orang dinas perikanan, kedua dengan sahabat kenalan di sana, ketiga tinggal di kantor tempat aku mengajar, dan terakhir aku diminta orang tua murid untuk tinggal di rumahnya agar anaknya intens belajar privat menjelang persiapan UAN, subhanallah atas karuniaNya, luar biasa…sejak aku di sana untuk tempat tinggal tak pernah bayar, bahkan aku pernah ditawari untuk tinggal di salah satu nelayan agar bisa juga mengajari anaknya. Di sela-sela kesibukan aku juga ingin membagi waktuku untuk mengajar TPA (Taman Pendidikan Alquran) walau tak banya aku bisa membantu, paling tidak bisa berbagi ilmu. Kini tiba saatnya aku harus pulang karena tugas dari dinas perikanan telah selesai dan mengajar di Bimbelpun telah usai setelah UAN kemarin. Alhamdulillah aku banyak mendapat kado dari beberapa anak murid dan beberapa sahabat Natuna dari mulai bros, tas, biuku, paying, makanan,,,subhanallah terimakasih sahabat-sahabat natuna, aku takkan pernah lupa kebersamaan ini….Selamat jalan Mutiara di Ujung utara Indonesia, Semoga kita berjumpa kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun