Hampir 3 bulan ini hatiku tak tenang. Semua kejadian telah berlalu, mengapa harus pula ku menyesal, sesuatu yang seharusnya tidak perlu aku sesali, “ikhlaskan…ikhlaskan,,” lirihku dalam hati. Susah rasanya hati ini untuk melupakan semuanya, namun entah dari mana datangnya perasaan harap selalu muncul, beharap suatu saat aku kan bertemu kembali, entah kapan… sampai waktupun tak mampu menjawabnya. Kurang lebih setahun yang lalu sosok orang yang selalu meminta nasehatku, bimbinganku, yah bukan hanya sekali, tapi beberapa kali, aku ingin ia sukses, dan baik-baik saja. Akupun tak rela melepaskan ia berjalan sendiri, selalu ku kawal walau dari jauh. Mengamati dari jauh, sekejap pun aku tak pernah melihatnya lagi. Sejak setahun berlalu, sejak aku pergi di negeri seberang, dalam rantau ku menapaki perjalanan hidup, namun aku selalu memantau perkembangannya. Walau sesekali aku sebal akan sosoknya yang terlalu polos, sehingga akupun tak pernah tega meninggalkannya apalagi menyakitinya, semua kulakukan demi kebaikannya, marah, cerewet, menegur jika ia bersalah, memberikanya nasehat adalah salah satu bentuk perhatianku, namun ia tak pernah mengetahuinya, biarlah hanya aku dan Tuhan yang tahu. Sampai pada suatu ketika aku memberikannya serangkai bunga spesial, saat wisuda kelulusannya di perguruan tinggi, kuberikan lewat teman-temanku atas nama organisasi, aku hanya memberikan perhatian kepadanya dalam kebisuan.
Diamku bukan berarti ku tak cinta.
Diamku bukan berarti ku tak peduli.
Namun diamku berarti seribu bahasa cinta.
Bahasa cinta yg tak kau mengerti
Bahasa cinta yg tak kau pahami
Dan bila saatnya halal,
Ku ingin mengajarimu bahasa cintaku
Diamku bukan berarti ku tak peduli
Diamku bukan berarti ku tak rindu
Namun diamku karna aku sayang padamu
Diam ku karna ku tak mau menyakitimu
Ku tak ingin kau merasakan sesaknya memendam
Biarlah aku yang merasakan beratnya tarikan nafas
Diam ku karna ku tak tau TakdirNya..
Aku hanya memohon,
Aku hanya berharap, suatu saat cintaku halal bagimu
Diamku tak berarti ku membenci,
Namun diamku karna ku taat pada Rabbku,
Diamku kerana ingin mencintaimu karnaNya
Diamku bukan berarti ku bisu
Diamku bukan berarti ku tak cinta
Diamku karana ku tak dapat mendefinisikan cintaku
karna cinta tak dapat didefinisikan dengan kata
mungkin saja kau bukan jodohku,
tapi mungkin juga iya…
jika kau adalah jodohku,
maka diamku adalah caraku mendapatkanmu
agar Dia memberikan senyumanNya ketika kita bersatu
memberikan rahmatNya ketika kita membangun rumah tangga,
karna senyumanNya adalah RidhoNya
jika kau adalah jodohku,
ku tak ingin mendapatkanmu dengan cara dilempar murka OlehNya
ku tak ingin cinta yg kita jalin tanpa ridhoNya
ku tak ingin memulai ibadah dengan maksiat
Bukan untuku mencari yang sempurna,
namun ku ingin menerimamu dengan sempurna…
Zahra, ia selalu memanggil namaku, dan Aqil itulah panggilan namanya. Aku masih teringat ketika ia berada dalam kebingungan panjang, karena harus meninggalkan amanahnya sebagai ketua salah satu organisasi yang fokus dalam pembinaan remaja dan anak-anak, sedangkan ia diterima kerja di salah satu perusahaan sebelum ia wisuda, ketika ia menghadapi kehilangan barang-barang berharganya yang dicuri maling di mobil dinasnya saat ia sedang shalat dhuhur, saat ia mencurahkan kebingungannya antara idealismenya dengan tuntutan perusahaan dalam marketisasi produk yang harus ia jual. Aku Masih teringat saat ia menginginkan untuk menikah dalam waktu dekat, aku tahu ia mengharapkanku, karena ketidaksiapanku aku pura-pura tidak tahu, dan akupun mencarikan seseorang yang siap menikah untuk kuhubungkan dengannya, demi membantu kebutuhannya, walaupun sebenarnya hati ini menginginkan dan mengharapkan permintaannya, sampai aku mendatangi sesorang atas permintaannya untuk dijadikan istri jika sudah siap menikah, dia adalah Imah adik kelasku di kampus, namun tidak bersedia karena ingin menyelesaikan studinya. Aku tak ingin mementingkan egois pribadi semata, perjalananku untuk keluargaku masih panjang di medan perjuangan. Akupun memberikan ia beberapa alternatif solusi yang membantunya dalam mengambil keputusan. Sesekali aku berfikir ia kuanggap sebagai adikku sendiri, yah walaupun aku hanya lebih tua setahun.
Seiring berjalan waktu aku merasa ada hal yang tak biasa, intensitas perhatian yang ia berikan terasa lebih, sehingga akupun tak nyaman. Aku bisa membacanya bahwa ia menaruh hati padaku dan mengharapkanku. Dia berusaha menghubungiku lewat SMS walau hanya sekedar menanyakan kabarku. Namun kembali lagi aku meresponnya biasa saja tak pernah menampakkan sekalipun bahwa sebenarnya aku mengharapkannya, hanya ingin menjaga hati ini, hingaa saat yang tepat itu datang. Aku berusaha ridho jika ia nantinya menikah dengan orang lain. Walau sebenarnya terasa berat di hati ini.
Pengabdianku di negeri seberang hampir berakhir. Sebulan ini bukan Aqil yang sering menghubungiku, tapi Ririn yang sering mencurahkan isi hatinya. Dialah sahabatku sejak pertama kami masuk kampus. Aku masih teringat saat semalaman aku harus mendengarkan curhatnya, saat ia menangis karena nilai mata kuliah agamanya mendapat nilai C, akupun meyakinkan dan mengantarkan ke Dosennya untuk membuktikan bahwa nilai itu salah. Sebulan ini ia banyak mencurahkan isi hatinya, bahwa ada seseorang yang memberikan ia perhatian lebih, sesorang yang istimewa bagi hatinya. Orang tersebut tak lain adalah Aqil, seorang pria yang selama ini menjadi bagian sejarah dalam hidupku. Sebenarnya hati ini sangat teriris-iris ketika aku harus mendengar sahabatku Ririn menceritakan segala sesuatu tentang Aqil, butiran air matakupun selalu mengalir selepas Ririn menelponku, antara aku yang masih menhgharapkannya ataukah aku mengalah untuk sahabatku Ririn. Aku tak pernah menolak, setiap Ririn meminta pendapatku tentang Aqil, saat itulah akhirnya aku menawarkan diri untuk menolongnya, meskipun dalam telpon saat itu juga air mata ini tak bisa kubendung. Aku tak tega melihat Ririn yang juga ingin segera menikah, hatinya yang demikian lembut dan secercah harapan kuat di matanya terpancar sesosok Aqil. Akupun berniat untuk menghubungkan Ririn dengan Aqil. Tak mengapa jika mereka harus menikah, biarlah kebahagiaan untuk mereka karena aku lebih tidak tega jika harus menyakiti orang lain. Aku sampai mebayangkan jika harus mendampingi sahabatku Ririn disaat ia menikah dengan orang yang selama ini juga aku harapkan. Aku yakin, aku pasti kuat.
Tiba-tiba salah seorang teman sekelasku menghubungiku bahwa ada seseorang yang ingin menikahiku. Rasa syok dan terkejut dalam hati ini. Aku tak bisa membayangkan jikalau orang tersebut adalah Aqil. Ternyata benar, apa yang diungkapkan teman sekelasku Tina. Seluruh kejadian ini membuat fikiranku guncang, seluruh badanku lemah lunglai, tak mampu menyantap makanan walau hanya sebutir nasi.