Krisis ekonomi yang telah terjadi telah menyebabkan berguncangnya perekonomian negara di seluruh dunia. Krisis global 2008/2009 dan juga krisis covid-19 telah menjadi contoh nyata bagaimana ekonomi global yang saling terhubung dapat membawa dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi nasional.
 Krisis global 2008/2009 menyebabkan penurunan tajam dalam perdagangan internasional, investasi, dan kepercayaan pasar, sementara krisis COVID-19 memperparah keadaan dengan menekan hampir semua sektor ekonomi akibat pembatasan sosial dan terganggunya rantai pasok global.Â
Indonesia, sebagai salah satu negara yang terdampak juga turut merasakan akibatnya. Penurunan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pengangguran, penurunan daya beli masyarakat, pelemahan nilai tukar rupiah, defisit neraca perdagangan.Â
Dampak-dampak tersebut tidak hanya memengaruhi kondisi makroekonomi, tetapi juga dirasakan langsung oleh masyarakat dan dunia usaha. Misalnya, selama krisis global 2008/2009, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat dari 6,3% pada 2007 menjadi 4,6% pada 2009.Â
Hal ini diperparah dengan meningkatnya angka pengangguran, yang mencapai 8,14% pada tahun 2009, karena banyak perusahaan harus melakukan efisiensi atau bahkan gulung tikar. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang dapat memulihkan perekonomian dan menjaga stabilitas perekonomian. Tak hanya itu, kerjasama antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal juga diperlukan untuk menciptakan sinergi yang efektif dalam menghadapi tantangan ekonomi.
 Kebijakan moneter, yang dikendalikan oleh Bank Indonesia, berperan dalam menjaga stabilitas nilai tukar, mengendalikan inflasi, dan memastikan likuiditas yang cukup di pasar keuangan. Di sisi lain, kebijakan fiskal, yang dijalankan oleh pemerintah, berfokus pada alokasi anggaran untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi di sektor-sektor produktif, bantuan sosial, dan stimulus ekonomi.Â
Mengenal Policy Mix
Sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal, atau yang dikenal sebagai policy mix, menjadi tonggak penting dalam upaya pemulihan ekonomi. Kombinasi ini memungkinkan pemerintah dan otoritas moneter untuk bekerja bersama dalam menghadapi tantangan yang kompleks dan dinamis. Kebijakan moneter, seperti pengendalian suku bunga dan stabilisasi nilai tukar, membantu menjaga likuiditas dan kepercayaan pasar. Sementara itu, kebijakan fiskal, melalui pengeluaran negara, investasi infrastruktur, dan insentif pajak, memberikan dorongan langsung kepada sektor riil untuk meningkatkan konsumsi, investasi, dan penciptaan lapangan kerja.Â
Strategi Kebijakan
Pada saat krisis global 2008/2009, pemerintah Indonesia mengeluarkan Paket Stimulus Ekonomi 2009 yang mencakup berbagai kebijakan untuk mendorong konsumsi domestik dan menjaga sektor-sektor vital. Ini termasuk peningkatan belanja pemerintah untuk infrastruktur, bantuan langsung kepada masyarakat, dan pembebasan pajak untuk sektor-sektor tertentu yang terkena dampak langsung seperti sektor manufaktur, transportasi, dan pariwisata.Â
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif kepada industri-industri yang berpotensi memulihkan perekonomian, seperti sektor konstruksi dan perumahan, untuk mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja.Â
Selain itu, pemerintah Indonesia memberikan likuiditas tambahan melalui program LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) untuk menjaga kestabilan sistem perbankan, mencegah penarikan dana secara besar-besaran, dan memastikan kepercayaan pasar terhadap sistem keuangan Indonesia. Â
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia juga menurunkan suku bunga acuan (BI Rate) secara signifikan untuk mendorong pinjaman dan meningkatkan likuiditas. Pada tahun 2008, BI Rate diturunkan dari 9,25% menjadi 6,75%, dan terus dipangkas lebih lanjut hingga 5,75% pada akhir tahun 2009.Â
Penurunan suku bunga ini membantu menurunkan biaya pinjaman, sehingga mendorong sektor usaha dan rumah tangga untuk lebih banyak berinvestasi dan mengkonsumsi. Langkah-langkah ini, yang bersinergi dengan kebijakan fiskal, berhasil menstabilkan perekonomian Indonesia dan mempercepat pemulihan dari dampak krisis global.Â
Bantuan Langsung Tunai (BLT), sebagai salah satu bagian dari Paket Stimulus Ekonomi 2009, diluncurkan oleh pemerintah Indonesia untuk membantu meringankan beban masyarakat yang terdampak. Pemerintah mengalokasikan anggaran sekitar Rp 10,5 triliun untuk memberikan BLT kepada lebih dari 19 juta keluarga miskin di seluruh Indonesia.Â
Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang tertekan akibat dampak krisis global, sekaligus untuk memacu konsumsi domestik sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Dengan bantuan langsung tunai ini, masyarakat dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan, yang pada gilirannya membantu menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.Â
Dampak Policy Mix
Dengan penerapan policy mix yang efektif, Indonesia berhasil menjaga ketahanan ekonominya meskipun mengalami kontraksi pada tahun 2020. Kebijakan makroprudensial membantu dalam mengelola risiko sistemik, sementara kebijakan moneter mendukung pemulihan ekonomi melalui peningkatan akses kredit bagi pelaku usaha.Â
Selain itu, upaya digitalisasi dan inovasi dalam sektor keuangan juga diperkuat sebagai respons terhadap perubahan perilaku konsumen selama pandemi.
 Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) menjadi salah satu inisiatif kunci yang diluncurkan untuk mengatasi dampak pandemi, dengan fokus pada perlindungan masyarakat berpenghasilan rendah dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang paling terdampak. Melalui kebijakan ini, pemerintah berusaha untuk meminimalkan risiko keterpurukan dunia usaha dan memastikan kebutuhan medis serta sosial masyarakat terpenuhi.Â
Pada tahun 2021, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 3,69% secara kumulatif, meningkat signifikan dari kontraksi 2,07% pada tahun 2020. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan investasi, serta ekspor yang mengalami lonjakan. Pada triwulan IV-2021, pertumbuhan mencapai 5,02% (y-on-y), menunjukkan pemulihan yang kuat setelah dampak gelombang COVID-19 varian DeltaÂ
Kebijakan Berkelanjutan untuk Pemulihan Jangka Panjang
Kebijakan Berkelanjutan untuk Pemulihan Jangka Panjang diperlukan untuk memastikan stabilitas ekonomi sekaligus mendukung pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. Pemerintah dan otoritas moneter perlu mengadopsi pendekatan yang tidak hanya bersifat reaktif terhadap krisis, tetapi juga proaktif dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh.Â
Langkah ini meliputi investasi besar-besaran dalam infrastruktur hijau, seperti energi terbarukan dan transportasi ramah lingkungan, guna menciptakan ekonomi yang rendah karbon dan berkelanjutan.
 Di sisi lain, penguatan sistem pendidikan dan kesehatan menjadi prioritas untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi di masa depan.Â
Kebijakan fiskal perlu diarahkan untuk memperkuat sektor-sektor strategis, seperti teknologi digital, pertanian berkelanjutan, dan manufaktur berbasis inovasi, yang mampu menciptakan lapangan kerja berkualitas. Sementara itu, kebijakan moneter harus tetap mendukung iklim investasi dengan menjaga stabilitas inflasi dan suku bunga yang kompetitif.
Dengan menerapkan kebijakan-kebijakan berkelanjutan ini, Indonesia tidak hanya dapat pulih dari dampak krisis, tetapi juga meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat, inklusif, dan ramah lingkungan dalam jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H