Selama ini mayoritas masyarakatmenganggap bahwa pendidikan hanya dapat ditempuh oleh orang-orang yang memiliki mobilitas yang tinggi, yang menghabiskan waktunya untuk membaca buku, meneliti di lapangan dan bereksperimen di laboratorium. Asumsi ini menjadikan perempuan seolah-olah akan kehilangan identitas kewanitaannya saat menempuh pendidikan, sebab secara tidak langsung mereka meninggalkan tugas-tugas kewanitaan di rumah tangga dan keluarganya.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan tidak banyak menempuh pendidikan tinggi di indonesia, yaitu: 1) Asumsi teologis yang menyatakan bahwa perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki, sehingga perempuan dipandang menempati posisi kedua dan bergantung pada laki-laki, 2) Kondisi sosial yang menempatkan perempuan berada dibawah kekuasaan laki-laki, dan 3) Tidak adanya akses dan kesempatan yang sama seperti laki-laki dalam berpendidikan.
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa berdasarakan struktur otaknya, perempuan lebih cerdas daripada laki-laki. Ketika dalam kandungan, janin laki-laki mengeluarkan hormon testosteron yang mengatur pertumbuhan fisik laki-laki dan menyerang bagian-bagian otak kiri sehingga otak kanan lebih dominan, dan sebaliknya yang terjadi pada janin perempuan. Namun belakangan ini ditemukan bahwa kesuksesan tidak hanya ditentukan oleh aspek kognitif saja, melainkan juga berkenaan juga dengan kecerdasan emosi,kecersasan spiritual, dan kecerdasan sosial. Hasil-hasil penelitian juga menyimpulkan bahwa perempuan memilki kemampuan verbal yang lebih baik. Sedangkan laki-laki cenderung lebih unggul dalam kemampuan matematika dan visual-spasial (seperti kemampuan membaca peta dan geometri).
Dewasa ini, pendidikan semakin diperlukan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam perspektfi psikologi pendidikan, pendidikan yang mampu mencerdaskan bangsa adalah pendidikan yang bebas dari diskriminasi gender. Maka pendidikan harus bersifat terbuka, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Dalam pendidikan, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama sebab perempuan tidak beda dengan laki-laki kecuali hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin.
Potensi perempuan untuk memperoleh pendidikan yang setara dengan laki-laki sama dengan potensi perempuan untuk menjadi pemimpin. Di dalam Al-Qur’an terdapat dua pujian Allah untuk ratu Bilqis terhadap kepemimpinannya. Jika perempuan tidak memiliki potensi yang baik untuk memimpin, maka tentu Allah tidak akan memuji rati bilqis. Selain itu, Umar bin Khattab juga mengangkat As-shafa sebagai menteri perdagangan dalam masa pemerintahannya. Maka selama tidak menyalahi kodratnya sebagai perempuan, sebagai istri dan sebagai ibu, perempuan berhak memperoleh pendidikan setinggi-tingginya, dan berkarya serta berperan dalam kepentingan sosial.
Jika kodrat perempuan yang akan menjadi ibu rumah tangga, atau sebagai ibu yang harus lebih banyak dirumah untuk mendidik anak anaknya dijadikan alasan untuk keterbatasan perempuan dalam menempuh pendidikan yang tinggi, sesungguhnya perempuan justru harus memiliki bekal pendidikan yang baik untuk menuju ke arah itu, sebab seorang ibu bagaikan sekolah bagi anak-anaknya. Jika sang ibu dipersiapkan dengan baik dan memiliki pendidikan yang baik, sesungguhnya kita telah menyiapkan generasi-generasi penerus yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H