Dia masuk dengan tiba-tiba, atau aku saja yang tidak sadar akan kehadirannya? Sepertinya karena aku saja yang tidak sadar dengan kehadirannya dan terkejut melihat dia sudah ada didalam hidupku. Tidak, dia sudah lama masuk kekehidupanku tetapi bisa dibilang aku yang mengusirnya. Ah, atau dia yang memutuskan untuk pergi.
Terlalu klasik jika aku menceritakan bagaimana dia bisa kembali masuk kekehidupanku lagi (untuk sesaat). Sejauh yang aku ingat saat itu, dengan motor vario merahnya dia menunggu didepan rumahku, saat itu. Entah ini semacam modus jaman sekarang atau bagaimana. Aku tidak mengerti permodusan jaman sekarang. Kita hanya bercerita kegalauan satu sama lain.
Awalnya memang kita, tapi makin lama hanya aku yang bercerita. Duduk dibawah langit malam dengan dia yang sangat suka sekali untuk membuka inbox smsku dan aku yang sibuk merebut blackberryku kembali ke tangan. Tidak usah tertawa, aku tau ini konyol.
Kalian tau bagaimana rasanya diperhatikan disaat hati sedang hancur karena kehilangan harapan?
Menyenangkan bisa melupakan kepatah-hatian (walau hanya sesaat). Entah sudah berapa kali dia menjemput dan menungguku didepan bimbingan belajar disuatu jalan di Jogjakarta. Kalian boleh tertawa jika kukatakan dia adalah adik kelas. Aku tidak peduli.
Dan sudah dua kali dia mengajakku main saat malam minggu.
Aku pun masih ingat saat dia menjemputku sepulang sekolah dan bersedia mengantarku mengambil gelang parisku. Yah, berkelana sedikit. Duduk berdua makan takoyaki didepan Empire XXI sambil bernostalgia mengingat hal yang konyol, dan lagi-lagi dia ingin sekali membaca inbox smsku. Seperti biasa.
Masjid Syuhada pun sebagai saksi bisu cerita singkat (sangat singkat) kita. Begitupula dengan ice cream shop di Malioboro. Tapi kita hanya berteman.
Kalian pernah mendengar kata jodoh kan? Mengerti definisinya?
Ini yang kurasakan, ditengah keasikanku untuk melupakan kepatah-hatianku, selalu ada perasaan yang mengganjal yang ingin kukeluarkan. Tapi aku tak mengerti perasaan apa itu. Aku hanya merasa melakukan sesuatu yang salah.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mundur, atau tepatnya kita yang memutuskan untuk mundur dan melupakan sepersekian persen proses yang sudah dijalani. Kita memang banyak kesamaan (sepertinya), tapi tetap saja jika aku merasa itu sesuatu yang salah maka lebih baik aku hentikan. Dan kita bersama-sama kembali ke titik nol. Berjuang untuk suatu tujuan yang berbeda.
Seperti menghapus memori untuk setengah bulan itu. Kini sudah tidak berbekas apapun tentang dia.
Ketika keinginan dipecah oleh suara hati dan takdir. Apa daya, manusia tak sanggup melawan.
Jika memang takdir seperti itu, sepintar apapun kamu mencari jalan untuk menghindarinya maka cepat atau lambat kamu akan tetap bertemu dengan si takdir.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H