Mohon tunggu...
Naura Fitrotul Amna
Naura Fitrotul Amna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bimbingan dan Konseling Universitas Sebelas Maret Surakarta

Saya sebagai mahasiswa aktif pada prodi Bimbingan dan Konseling tentunya sangat tertarik dengan topik yang menyangkut perkembangan potensi anak/peserta didik. Selain itu saya juga tertarik pada bidang psikologi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Ranjau Mental: Kesalahan dalam Pola Asuh

30 Desember 2024   23:20 Diperbarui: 30 Desember 2024   23:17 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Hal ini tercermin dalam pola asuh yang mereka berikan. Namun, Beberapa orang tua tanpa sengaja menanamkan ranjau mental pada anaknya. Ranjau mental ialah sebuah perangkap yang membuat mental anak terjebak dalam kondisi negatif. Efeknya sangat besar pada hidup anak tersebut di masa depan. Tentunya tidak ada orang tua yang rela menjerumuskan anaknya pada hal yang negatif. Maka dari itu, kenali jenis-jenis ranjau mental yang mungkin saja tanpa sengaja dilakukan.

Apa Saja Ranjau Mental Itu?

Steede (2007) memaparkan jenis-jenis ranjau mental yang tanpa sengaja dapat orang tua lakukan ke anaknya. Berikut ini rinciannya:      

  • Anak harus sempurna: Sebagian besar orang tua mengharapkan anak mereka memiliki kehidupan yang terbaik. Namun, terkadang beberapa orang tua salah dalam menyampaikan maksud tersebut kepada anak mereka. Bukannya memotivasi anak untuk mengusahakan yang terbaik bagi dirinya sendiri, para orang tua ini justru menanamkan pemahaman bahwa anak harus menjadi yang terbaik di segala bidang.
  • Anak harus mencapai prestasi untuk dicintai: Beberapa orang tua hanya menyampaikan apresiasi atau rasa cinta ketika anaknya meraih prestasi atau meraih hal yang orang tua harapkan. Akibatnya anak-anak dari orang tua ini merasa bahwa cinta orang tuanya bersyarat. Apalagi, orang tua seperti ini memiliki kecenderungan memberi respon negatif ketika si anak tidak berperilaku seperti yang diharapkan. Pada situasi seperti ini anak cenderung merasa tidak dicintai oleh orang tuanya. Hal ini juga berpengaruh pada merosotnya kepercayaan diri si anak.
  • Anak tidak boleh mengekspresikan emosi negatif: Anda pasti sudah terbiasa mendengar kata-kata “laki-laki tidak bercerita” atau “anak laki-laki dilarang menangis”. Tahukah Anda bahwa pernyataan tersebut membawa dampak buruk yang berkepanjangan?
    Mungkin, yang diharapkan dari didikan seperti ini adalah anak menjadi pribadi yang kuat, tidak gampang mengeluh, dan tidak pernah menangis. Namun, benarkah karakter seperti itu yang dianggap kuat?
    Karakter sebenarnya yang akan mereka peroleh dari pola asuh seperti itu ialah menjadi orang yang tidak nyaman terhadap ekspresi emosional dari orang lain. Parahnya, orang-orang seperti ini kurang bersimpati terhadap penderitaan orang lain sebab dari ketidaknyamanan pada luapan emosi negatif mereka. Dapat terlihat bukan? Mereka ini tidak kuat. Hanya menghindar dari perasaan negatif. Entah apa yang akan mereka lakukan untuk menyalurkan emosi mereka. Bisa jadi, mereka salurkan kepada kegiatan negatif yang merusak.
  • Anak harus berbuat baik supaya disenangi semua orang: Pernah mendengar istilah people pleaser? Kepribadian ini dapat dihasilkan sebab dari orang tua yang menginginkan anaknya memenuhi kemauan orang lain. Dalam kata lain, berusaha menyenangkan orang lain. Hal seperti ini disebut kebaikan oleh mereka.
    Kebaikan ini membawa dampak sebuah ketergantungan pada orang lain. Anak akan merasa layak ketika mendapat pengakuan dari orang lain. Tidak peduli pada motivasi, perasaan, pendapat, dan tindakan mereka sendiri.
  • Anak dilarang berbuat salah: Seringkali kesalahan dipandang sebagai sebuah kejahatan besar. Anak melakukan kesalahan kecil, sebuah bentakan dilontarkan untuknya. Niatnya untuk memberi tahu bahwa mereka salah tetapi dengan cara yang salah. Cara seperti ini justru membuat mereka takut untuk berbuat salah bukan malah belajar dari kesalahan.

Bagaimana Ahli Bisa Membantu?

Dampak-dampak dari ranjau mental dapat terbawa hingga anak menjalani peran hidupnya sendiri di masyarakat. Seringkali saya melihat dampak-dampak tersebut terasa berpengaruh negatif pada orang di sekitar. Di sinilah peran konselor menjadi sangat penting dalam membantu keluarga mengatasi dampak-dampak yang diciptakan oleh ranjau mental tersebut. Mari kita bahas bagaimana konselor dapat membantu keluarga dalam mengatasi permasalahan ini.

 
Dalam mengatasi masalah, konselor biasanya melakukan pemberian layanan responsif yakni konseling. Supaya konseling makin efektif, konselor biasanya tidak melakukan konseling biasa tetapi dengan memakai pendekatan. Pendekatan yang dirasa  cocok dengan masalah ini adalah konseling keluarga. Konseling keluarga memandang permasalahan dari perspektif sistemik, di mana setiap anggota keluarga saling memengaruhi satu sama lain (Gladding, 2019). Dalam konteks masalah ranjau mental, pendekatan ini dapat membantu keluarga memahami dan mengubah pola interaksi yang kurang adaptif.

 
Beberapa teknik konseling keluarga yang dapat diterapkan adalah:

  • Sculpting (Mematung): Konseli diberi kebebasan bercerita dalam posisi anggota keluarga lain mematung
  • Role Playing (Bermain Peran): Bermain peran dengan menggunakan persepsi anggota keluarga lain guna refleksi ketika dihadapkan kepada persepsi yang berbeda.
  • Silence (Diam): Pemanfaatan sebuah keheningan yang diciptakan konseli untuk konselor mengamati lebih dalam perasaan dan pikiran konseli.
  • Confrontation (Konfrontasi): Menghadapkan konseli pada pertentangan atau perbedaan pendapat supaya konseli atau anggota keluarga mengungkapkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan secara lebih jujur dan terbuka.
  • Teaching via Questioning (Pengajaran dengan Bertanya): Konselor mengajukan pertanyaan untuk menumbuhkan refleksi diri, empati, dan membantu anggota keluarga melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda.
  • Listening (Mendengarkan):  Konselor menjadi pendengar aktif guna menciptakan suasana nyaman untuk seluruh anggota keluarga dalam mencurahkan pikiran, perasaan, serta pengalaman mereka.
  • Recapitulating (Mengikhtisarkan): Konselor menegaskan inti dari hal yang diungkapkan konseli atau seluruh anggota keluarga guna memfokuskan pembicaraan supaya lebih terarah.
  • Summary (Menyimpulkan): Konselor mengkomunikasikan kesimpulan sementara supaya pembicaraan dapat berlanjut secara progresif.
  • Clarification (Menjernihkan): Konselor memperjelas pernyataan konseli bila dirasa pernyataan tersebut samar atau kurang jelas.
  • Reflection (Refleksi): Konselor mencerminkan atau merefleksikan pernyataan konseli melalui komunikasi verbal atau non-verbal guna membantu konseli supaya paham dan dapat mengidentifikasi emosi yang dirasakan.

 
Dalam proses konseling, konselor akan menjaga netralitas. Konselor tidak akan menyalahkan pihak manapun sebab konseling dilakukan oleh seluruh anggota keluarga secara bersama-sama. Diperlukan komitmen dan kesabaran dari semua pihak. Namun, dengan pendekatan yang tepat dan dukungan profesional yang memadai, keluarga dapat membangun pola interaksi yang lebih sehat sehingga mendukung perkembangan optimal setiap anggotanya.

 
Referensi
Gladding, S. T. (2019). Family Therapy: History, Theory, and Practice (7th ed.). Boston: Pearson.
Setiawan, A. (2021). Teknik Konseling Keluarga BP4 Kota Yogyakarta dalam Mendamaikan Pasangan Suami Istri yang Berniat Bercerai. (Skripsi Sarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta). https://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/46319/
Steede, K. (2007). 10 Kesalahan Orangtua dalam Mendidik Anak (Alih bahasa oleh Gultom). Jakarta Selatan: Tangga Pustaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun