Adalah ritual baginya untuk menyebut nama Osamu Dazai tiga kali saat berhadapan dengan lembar kosong dalam laptopnya. Mantra menghimpun memori masa lampau demi lejitnya kreativitas sastrawi, sugestinya pada diri sendiri.
Dazai si muram, Dazai si kelam, Dazai si penyiksa diri, Dazai si penelanjang kimono suci, Dazai si siapa saja yang dia inginkan, Dazai Dazai Dazai satu-satunya sastrawan, pengarang, penulis yang tulisannya adalah belati sukma yang dengan lesat menindik ulu hati seperti jarum jahit yang berfungsi membolongi rajutan kain, Dazai si pecandu bunuh diri, Dazai si pembenci manusia, Dazai yang terlaknat untuk melanjutkan kehidupan yang tidak dia pahami ke mana jalurnya dan apa maknanya, Dazai sang tuhan yang harus mati agar ciptaannya lahir, Dazai yang enggan bangun dari makamnya untuk menyambanginya di ujung malam cacat, Dazai si penyepi dan penyendiri yang membuatnya senantiasa sepi dan sendiri.
Ningen Shikkaku, satu-satunya mahakarya sastra dunia. Bukan Dostoevsky, Shakespeare, Flaubert, Tolstoy, Hemingway atau Kawabata. (Justifikasinya: mereka mengorek borok sementara Dazai menggali limbah; realitanya: dia belum membaca mereka.) Kebencian terhadap manusia adalah kebencian terhadapmu, dan kebencian terhadapmu adalah kebencian terhadap manusia. Apa itu masyarakat kecuali individu? dan apa itu individu selain apa yang masyarakat ciptakan akan dirimu? Sastra tak akan jadi apa-apa selain budak zaman jika sastra membahas zaman. Sastra adalah jeritan dan nyanyian dari individu untuk individu, dan jika sastra tak bisa menampung jeritan dan nyanyian yang dimuntahkan dan didendangkan individu, jadikan saja sastra itu reklame kata-kata. Tapi dia - pengarang otobiografis - calon pengarang otobiografis - yang tertawan di depan laptopnya, masih bergeming. Benaknya bergelut dengan memori masa lampau yang menyuguhkan trauma dan kebencian, duka dan penyesalan, dendam dan tuntutan. Dia pun merunut segala yang dia alami sejak kecil sampai dewasa.
Apa yang dilakukan ayahnya sehingga dia bisa sedemikian payah?
Apa yang dilakukan ibunya sehingga dia bisa sedemikian manja?
Apa kakaknya pernah menamparnya dan mempermalukannya sehingga dia tak sanggup bercakap padanya barang basa-basi saja?
Apa adiknya sering mengadu kepada kedua orang tuanya tentang seberapa egois dirinya sehingga keegoisan adiknya itu tak pernah terpenuhi?
Apa pembantunya tersenyum saat melihat kemaluannya yang berkembang terlalu dini untuk seorang anak SD?
Siapa pacar pertamanya yang menghasut atau mengiyakan ajakan sanggama dan menabur benih iblis yang dimusnahkan segera?
Siapa teman - sahabat - terbaiknya yang memiliki kebencian yang sama dengannya akan perilaku "mereka" di sekolah dan kuliahnya, dan pada akhirnya memusatkan kebencian itu padanya seorang?
Siapa teman palsu yang menikamnya dari belakang, memelintir pisaunya, dan menariknya ke bawah seperti resleting, dan tertawa di balik ibanya, dan menari di atas lumpuhnya?
Siapa guru yang menyetrapnya di depan kelas dan membuatnya menjadi seorang pendosa?
Siapa penceramah yang membuatnya membenci dirinya karena terlalu manusia?
Siapa filsuf yang membuatnya menghindar dari kerumunan dan menyiksa diri dengan renungan?
Siapa kenalan asing yang memperkenalkannya dengan alkohol dan menjadikannya terapi?
Apa dan siapa, begitulah pertanyaannya.
Pada akhirnya, pengarang otobiografis itu menutup laptopnya keras-keras. Dia mengambil sebotol Intisari dan menuangnya setengah gelas ke dalam cangkir teh, meneguknya sampai habis, mengulangnya, sambil menatap jam dinding yang bunyi gerak detiknya bagai ketukan penyambut kiamat. Dia merasa nyaman. Dia merasa hangat. Dia merasa tenteram. Dan dia tak akan menulis.
Dia telah melupakan masa lalunya.
(2024)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H