Di kelurahan kami, ada seorang bocah - yang sebenarnya tidak bocah sebab dia sudah remaja - yang seringkali muncul tiba-tiba dan merengek "Mama!". Rambutnya gondrong dan kumis tipis yang panjang menjalar di bawah hidung. Pakaiannya hanya selempang kain bedong dan popok besar belum diganti. Air mata selalu mengucur, begitu juga air ingus dan air liur. Dari pagi hingga sore dia selalu mondar-mandir dari satu rumah ke rumah lain, dari Magrib hingga tengah malam - kalau masih berada di kelurahan kami - dia pasti meringkuk di bawah pohon beringin, kadang-kadang di kebun pisang.
Awalnya kami menganggapnya hiburan semata. Tapi lama-lama malah makin menjengkelkan dan kegiatan kami jadi terganggu karena rengekannya. Beberapa dari kami juga merasa tersinggung karena saat mandi di kali, bocah itu akan menghampiri dan merengek "Mama!" tanpa henti. Kami bicarakan perkara ini kepada Pak Lurah dan Pak Hansip, tapi mereka membalas, "Kasian, masih kecil," meski kami tak tahu seberapa "kecil" seorang remaja yang mengenakan kain bedong dan popok besar.
Tingkah bocah itu semakin menjadi, terlebih kepada wanita. Tiap kali bertemu dengan ibu-ibu, tanpa segan dia akan memeluk kakinya dan merengek "Mama!" sehingga mereka terpaksa menyeretnya sampai ke rumah. Tiap kali bertemu dengan mbak-mbak, tanpa bimbang dia akan merobek baju mereka dan menetek sehingga mereka menamparnya. Tiap kali bertemu dengan kakak-kakak berusia sekitaran dengannya, tanpa resah dia akan melompat kepada mereka - berharap digendong - sehingga mereka akan mengelak yang membuatnya terpelanting keras.Â
Hanya ada satu nenek yang mau meladeninya, dan yang pada siapa dia sendiri tak pernah bertingkah yang bukan-bukan. Dia akan merangkak pada nenek itu dan nenek itu akan membelai-belai rambut gondrongnya, dan ketimbang merengek "Mama!" seperti biasa, dia jadi anteng, dan beberapa saat kemudian - entah keajaiban apa - dia akan meringkuk dan berbaring di atas pangkuan si nenek sementara nenek itu menyenandungkan sesuatu, dan beberapa saat kemudian, nenek itu membuka kain dasternya dan meneteknya. Lalu bocah itu akan tertidur.
Beberapa hari lalu, tersiar kabar bahwa nenek itu - nenek penyendiri yang sering bicara sendiri dan mendengungkan kidung Sunda lawas itu - nenek penyendiri yang kami kira ditinggal pergi suaminya entah karena maut atau masalah keluarga - hamil. Kami kira itu mustahil, sebab bagaimana mungkin seorang nenek yang berusia di atas lima puluh-enam puluh masih bisa hamil?Â
Asumsi kami - dan terbukti - adalah bocah itu - yang sebenarnya bukan bocah - yang menghamilinya. Kami sempat melihat si nenek belanja di pasar dengan perutnya menggelembung ditemani bocah itu sambil - entah syukur atau malang - memunggungi para pedagang dan pembeli yang sembunyi-sembunyi menertawakan mereka. Muka mereka cerah ceria, dan yang tidak biasa, si nenek, biasa kami kenal dengan ekspresi bingung-kesasarnya, tampak begitu percaya diri, dan si bocah, tampak begitu tegas dan tegap, tak pernah lagi merengek "Mama!". Keduanya begitu nyaman satu sama lain.
Kami bisa bilang, bocah itu menemukan mamanya.
(2024)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H