Dukungan dari Para Pemimpin Yogyakarta
Penyebaran berita proklamasi kemerdekaan di Yogyakarta dimulai dengan informasi yang diterima oleh Kantor Berita Domei pada pukul 12.00 WIB. Meskipun pemerintahan Jepang, yang telah menyerah kepada Sekutu, melarang penyiaran berita tersebut, upaya penyebarluasan tetap dilakukan.
Berita disampaikan melalui khutbah Jumat di Masjid Besar Alun-alun Utara dan Masjid Pakualaman. Selain itu, pawai sepeda yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dan guru Taman Siswa, seperti Soeratmi Iman Soegijat, juga menjadi sarana efektif untuk menyebarkan informasi secara langsung kepada masyarakat dengan meneriakkan kemerdekaan dan membagikan selebaran.
Selain khutbah dan pawai sepeda, berita proklamasi juga disebarluaskan melalui surat kabar Sinar Matahari, yang sebelumnya bernama Sedya Tama. Surat kabar ini memuat berita proklamasi pada 19 Agustus 1945, termasuk teks UUD yang disahkan PPKI pada 18 Agustus 1945. Peran aparat desa juga penting dalam menyebarkan berita kepada masyarakat yang sebagian besar bertani, memastikan informasi proklamasi sampai kepada mereka.
Para penguasa di Yogyakarta, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII, menyambut positif proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada 19 Agustus 1945, mereka mengirim telegram kepada Soekarno dan Hatta, mengucapkan selamat atas berdirinya Republik Indonesia dan terpilihnya mereka sebagai presiden dan wakil presiden. Telegram juga dikirimkan kepada dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat.
Pada pukul 10.00 WIB, Sri Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam VIII mengadakan pertemuan dengan berbagai kelompok di Bangsal Kepatihan, di mana mereka mengungkapkan kegembiraan rakyat Yogyakarta dan mengingatkan masyarakat untuk tidak berlebihan dalam merayakan kemerdekaan.
Surakarta
Di Surakarta, berita proklamasi kemerdekaan diterima pada 17 Agustus 1945 melalui siaran radio. Berita ini cepat menyebar ke seluruh kota dan diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk R. Soembardjo, mantan anggota tentara pelajar Surakarta, yang mendengarnya dari seorang guru.
Seorang guru lain, Rahinten Koesoenarno, juga mendengar berita tersebut dan pada 18 Agustus 1945, bersama anggota Fujinkai, memberikan pengarahan kepada masyarakat desa tentang arti kemerdekaan dan mendorong mereka untuk menyanyikan lagu "Indonesia Raya" di sekolah dan kelurahan. Menurut Surahman Partoharjono, Fujinkai mengunjungi Kelurahan Dayu, Jumantana, dan Jumapala pada 18 Agustus 1945, setelah mengumpulkan para pemuda desa dan menjelaskan bahwa Indonesia telah merdeka.
Kota Solo di Jawa Tengah menerima berita proklamasi kemerdekaan dalam suasana yang damai dan penuh persaudaraan. Di Klaten, berita tersebut juga tersebar dengan baik, diiringi pengambilalihan kekuasaan dari Jepang yang berlangsung damai karena orang-orang Jepang telah dipindahkan ke Baros Tampir, Boyolali.
Pekalongan
Di Pekalongan, berita proklamasi diterima melalui siaran radio pada 18 Agustus 1945. Salah seorang anggota Barisan Pelopor, Sarli, menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan bendera merah putih, meskipun tindakan ini sempat menimbulkan kegaduhan yang mengharuskan bendera merah putih diturunkan kembali. Penyebaran berita di Pekalongan juga didukung oleh jaringan komunikasi telepon dan kereta api, terutama jalur kereta api Jakarta-Semarang yang melintasi wilayah ini.
Semarang
Semarang, kota penting lainnya di Jawa Tengah, menerima berita proklamasi pertama kali melalui Sugiarin, seorang markonis di Kantor Berita Domei Semarang. Sugiarin menyampaikan berita tersebut kepada Syarief Soelaiman dan M.S. Mintoardjo, yang kemudian meneruskannya ke Gedung Djawa Hokokai, tempat rapat persiapan kemerdekaan berlangsung. Di gedung itu, Mr. Wongsonegoro membacakan berita proklamasi yang disambut gembira oleh para hadirin.