Coba kita bayangkan bagaimana rasanya tinggal di perbatasan negara? Tempat di mana batas negara bukan sekadar garis di peta, tetapi juga pemisah antara kehidupan yang sejahtera dan yang serba kekurangan. Inilah yang dialami oleh masyarakat di perbatasan Indonesia, terutama di daerah Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ketika Indonesia merayakan hari ulang tahunnya, banyak masyarakat di perbatasan yang merasa tidak merasakan dampak dari kemerdekaan tersebut. Mereka seakan berada di pinggiran perhatian pemerintah, jauh dari pusat kebijakan dan pembangunan. Rasa nasionalisme mereka pun terkikis oleh kenyataan pahit kehidupan sehari-hari.
Tantangan Ekonomi dan Pendidikan, Perlu Adanya Tindakan Nyata
Bagi masyarakat perbatasan, kehidupan seringkali lebih terhubung dengan negara tetangga daripada dengan ibu kota negara mereka sendiri. Misalnya, di perbatasan Papua, masyarakat lebih akrab dengan warga Papua New Guinea.
Begitu juga dengan masyarakat NTT yang merasa lebih dekat dengan warga Timor Leste. Kedekatan ini bukan hanya secara geografis, tetapi juga dalam hal akses barang dan layanan yang lebih mudah didapat dari negara tetangga.
Kesenjangan yang mencolok ini memicu rasa iri dan ketidakpuasan. Bagaimana tidak, ketika mereka melihat tetangga mereka yang hidup lebih sejahtera dengan infrastruktur yang lebih baik, sementara mereka sendiri harus berjuang dengan fasilitas yang minim. Ini membuat mereka merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah Indonesia.
Masyarakat perbatasan menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Akses ke pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, serta kesempatan ekonomi yang adil masih menjadi mimpi yang sulit terwujud.
Sementara di kota-kota besar di Jawa, masyarakat bisa menikmati berbagai kemudahan, masyarakat perbatasan seringkali harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan kebutuhan dasar mereka.
Ketidakadilan ini bukan hanya menyakitkan secara fisik, tetapi juga secara emosional. Rasa ketidakadilan dan diabaikan oleh negara mereka sendiri menciptakan jurang yang semakin lebar antara pusat dan pinggiran. Hal ini berpotensi menggerus rasa nasionalisme dan semangat kebangsaan mereka.
Kondisi ini seharusnya tidak dibiarkan begitu saja. Semua pihak, terutama pemerintah, perlu mengambil tindakan nyata untuk memperbaiki keadaan ini. Masyarakat perbatasan tidak meminta lebih dari apa yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Mereka hanya ingin merasakan keadilan dan perhatian yang sama seperti saudara-saudara mereka di bagian lain negeri ini.
Revitalisasi negara kesejahteraan yang diamanatkan oleh undang-undang dasar harus menjadi prioritas. Pemerintah harus turun tangan dan memimpin upaya penegakan keadilan bagi masyarakat perbatasan. Ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga tentang membangun kembali kepercayaan dan rasa kebersamaan sebagai satu bangsa.