Pada tahun 1965, Indonesia berada dalam situasi yang sangat genting. Kudeta yang dikenal sebagai G30S/PKI menimbulkan ketegangan politik dan militer yang sangat tinggi. Setelah peristiwa tersebut, kondisi politik dalam negeri semakin tidak stabil. Presiden Soekarno berusaha mempertahankan posisinya di tengah tekanan dari berbagai pihak, termasuk militer dan partai politik.
Pada 11 Maret 1966, dalam kondisi kesehatan yang menurun dan menghadapi tekanan dari kelompok militer, Soekarno menandatangani sebuah surat yang dikenal sebagai Supersemar. Surat ini memberikan mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan demi menjaga keamanan negara. Dalam waktu singkat, Soeharto menggunakan kekuasaan yang diberikan oleh Supersemar untuk mengambil alih kontrol politik dan militer, yang pada akhirnya memimpin Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Salah satu aspek terbesar dari kontroversi Supersemar adalah ketidakjelasan mengenai isi asli surat tersebut. Hingga saat ini, tidak ada satu versi resmi dari dokumen Supersemar yang disepakati oleh semua pihak. Beberapa versi yang berbeda dari surat ini telah muncul di kemudian hari, namun tidak ada yang bisa dipastikan sebagai dokumen asli.
Keberadaan dokumen asli Supersemar juga menjadi teka-teki besar. Lembaga Arsip Nasional Indonesia hingga kini belum memiliki salinan resmi dari dokumen tersebut. Bahkan, sebagian pihak menganggap bahwa dokumen asli Supersemar mungkin telah hilang atau sengaja disembunyikan. Ketidakpastian ini menimbulkan berbagai spekulasi mengenai apa sebenarnya yang terjadi pada malam penandatanganan Supersemar dan apa yang sebenarnya ditulis oleh Soekarno.
Kontroversi lain yang tak kalah penting adalah mengenai bagaimana Supersemar diserahkan kepada Soeharto. Beberapa saksi sejarah menyebut bahwa Soekarno menandatangani surat tersebut di bawah tekanan militer. Ada cerita bahwa tiga jenderal Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M. Yusuf datang menemui Soekarno di Istana Bogor dan meminta Soekarno menandatangani surat tersebut. Namun, tidak jelas apakah Soekarno sepenuhnya paham implikasi dari surat yang ia tanda tangani, atau apakah ia merasa terpaksa karena kondisi politik yang mendesak saat itu.
Supersemar menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia karena dengan surat ini, Soeharto mendapatkan legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan secara de facto. Setelah menerima Supersemar, Soeharto segera bertindak tegas. Ia membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menahan tokoh-tokoh politik yang dianggap mendukung PKI. Langkah-langkah ini memperkuat posisinya di mata militer dan kelompok-kelompok politik anti-komunis, sekaligus melemahkan pengaruh Soekarno yang semakin terpinggirkan.
Pada tahun 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) secara resmi mencabut mandat kepresidenan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian, Soeharto secara resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia, menandai berakhirnya era Soekarno dan dimulainya era Orde Baru.
Karena banyaknya aspek misterius seputar Supersemar, tidak sedikit teori konspirasi yang berkembang di masyarakat. Ada yang menduga bahwa Supersemar merupakan bagian dari rencana besar untuk menggulingkan Soekarno oleh kekuatan militer dengan dukungan asing. Sementara itu, ada juga yang percaya bahwa Soekarno menandatangani surat tersebut karena ia percaya pada loyalitas Soeharto, namun tidak menyangka bahwa Soeharto akan mengambil alih kekuasaan sepenuhnya.
Sumber:
Djaror, Eros, dkk. "Misteri Supersemar" (2006).
Wardaya, Baskara T. "Membongkar Supersemar." Dari CIA Hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2009).